Dr. Ali Syariati : Arafah, haji dan Kemanusiaan

By. Siti Rahmawati - 27 Jun 2023

Bagikan:
img

Batemuritour.com- Momen Wuquf di Arafah tanggal 9 Dzulhizah 1444 H/ 2023 M, jutaan umat Islam seluruh dunia akan berkumpul di Arafah, sebuah padang luas berjarak 22 KM sebelah timur Kota Mekkah al-Mukarramah.

 

Semua jemaah haji, laki-laki-perempuan, tua-muda, kulit hitam-putih, bangsa Timur-Barat, sekitar 3 jutaan lebih manusia berkumpul di titik ini. Tak ada yang berpakaian lain, kecuali dua helai kain ihram berwarna putih melekat dalam tubuh mereka.

 

Sumber gambar : Pixabay

 

 

Arafah itu adalah puncak haji. Sabda Nabi Muhammad: Al-Hajju 'Arafat, sebagaimana yang diriwayatkan Abu Dawud, At-Tirmidzi. Berhaji itu adalah wukuf di Arafah.

Puncak ibadah haji adalah menetap diam di Arafah. Kami mendengarkan kotbah, salat, berzikir, merenung dan berkontemplasi di bawah terik matahari serta di atas tanah tandus seperti kita sedang di alam mahsyar. Alam di mana diyakini akan kita lalui pada saat kita akan dibangkitkan dari kubur (yaum al-ba'ats).

 

Baca juga:

 

 

Pemaknaan terhadap Arafah bukan sekadar sebuah tempat belaka. Namun, perlu juga kita memahami secara filosofis di balik makna terdalam dari kata ini. Arafah, kata cendekiawan muslim asal Iran Ali Syariati dalam bukunya Hajj, adalah pengetahuan. Satu akar dengan ma'rifat yaitu suatu kesadaran ketuhanan tertinggi yang dimiliki manusia. Kata Imam Ghazali, ma'rifat itu tujuan akhir yang harus dicapai manusia sebagai kesempurnaan tertinggi yang mengandung kebahagiaan hakiki.

 

Siang hari hingga terbenamnya matahari, kami bersimpuh dalam kekusyukan melafalalkan kalimat-kalimat keagungan Allah. Berzikir, bertasbih, bertahlil, beristigfar, meminta ampunan kepada Tuhan, berdoa untuk diri sendiri, keluarga, saudara-saudara, dan kebaikan bangsa kita. Kami adalah titik-titik kecil di antara kebesaran jagat semesta. Kita berkontemplasi dalam kebesaran Tuhan Yang Maha Agung. Kami merenung dan melakukan refleksi atas betapa lemahnya kami di hadapan Allah Azza wa Jalla.

 

Kita hanyut dalam aura spiritualitas yang mendalam. Rintihan dalam doa. Tangisan dalam penyesalan atas berbagai dosa dan kesalahan kita pada masa lalu kepada Tuhan, dan juga kepada sesama manusia membuncah dalam ratapan dari setiap mulut kami. Kami memiliki harapan dan keinginan untuk meraih keagungan-Nya. Di Arafah ini momentum yang tepat untuk kami menyadari tentang relasi manusia dengan Tuhan-Nya.

 

Pemaknaan Haji, Arafah dan Kemanusiaan

 

Wukuf di Arafah merupakan bagian dari rangkaian ibadah haji yang lain. Sebelumnya, kita wajib memakai baju ihram, melepaskan pakaian yang biasa melekat pada diri kita. Setelah kita berwukuf di Arafah, kita bertolak ke Muzdalifah untuk menetap sebentar dalam pergantian malam (mabit); thawaf, mengelilingi Kabah tujuh kali sebagai pusat episentrum dan titik temu penghadapan hamba kepada Allah; sa'i, berjalan disertai lari-lari kecil dari Bukit Shafa dan Marwa sebanyak tujuh kali; mina, berdiam diri menetap sambil memusatkan pikiran bertafakur penuh harapan kepada Allah; dan jamarat, melempar batu pada tiga tugu yang merupakan perlambang setan yang selalu menggoda manusia.

 

Rangkaian ibadah haji ini sesungguhnya merupakan ajaran Nabi Muhammad yang menyempurnakan apa yang pernah dipraktikkan dan diajarkan para Rasul sebelumnya, dari mulai Adam dan terutama Sang Monotheisme dunia, Nabi Ibrahim dan keluarganya. Ibrahim merupakan manusia terpilih Tuhan yang telah meletakkan dasar Ketuhanan yang kokoh yang telah dialami oleh dirinya. Inti dari ajaran utamanya adalah tentang bagaimana konsep ketauhidan, pengesaan Tuhan, tidak ada Tuhan yang wajib disembah selain Allah.

 

 

Baca juga:

 

 

Manusia ini, sungguh, bagian kecil dari kebesaran alam ciptaan-Nya. Kita ini setitik mikrokosmos dari makrokosmos semesta alam hasil kreasi Sang Pecipta. Tak pantas rasanya kita besar, takabur dan sombong atas apa yang kita miliki. Namun, diri kita selalu memiliki perasaan itu.

 

Apa yang membuat kita selalu lupa akan eksistensi diri kita? Pertama kali adalah soal apa yang melekat pada diri, yaitu pakaian kita. Pakaian dalam pengertian luas, yaitu identitas yang melekat pada diri kita. Menurut Ali Syariati, pakaian adalah lambang status yang dapat memicu sikap diskriminasi, sikap ananiyah (ke-aku-an) dan egoistis. Pakaian telah memecah belah anak-anak Adam. Karena itu, kata Ali Syariati, pakaian model ibadah ihram bukanlah penghinaan tetapi penggambaran kualitas manusia di hadapan Tuhan. Pakaian ihram, lanjutnya, telah menuntun manusia untuk mengubur pandangan yang mengukur keunggulan karena kelas ekonomi, kedudukan sosial, dan ras suku bangsa.

 

Dengan berpakaian dua helai selendang ihram, kita melepaskan diri dari sekat-sekat psikologis yang membuat kita berbeda secara status sosial, ekonomi atau profesi. Kita berada dalam satu persamaan sebagai manusia, senasib dan sepenanggungan, menyatukan diri dalam peleburan penghambaan kepada Tuhan, pemilik alam semesta. Kita lepaskan sikap-sikap kebinatangan (bahiymaah) yang ada pada diri kita. Perlambang kebinatangan itu, kata Ali Syariati, seperti serigala yang melambangkan kekejaman dan penindasan, tikus yang melambangkan kelicikan, anjing yang menandakan tipu daya, dan domba yang melambangkan penghambaan kepada makhluk.

 

 

Baca juga:

 

 

 

 

Waallahu A'alam Bisshowab

 

Sekian pembahasan Batemuritour kali ini, bagi kalian yang ingin bertanya ataupun berkomentar terkait konten-konten Islami silahkan hubungi email kami di umrah.batemuri@gmail.com atau terus cek artikel kami di www.batemuritour.com

 

 









Whatsapp Logo
Start a Conversation Hi! Click one of our member below to chat on Whatsapp