Hegemoni Simbolik dan Sulitnya Perjalanan Haji Indonesia pada Masa Lalu

By. Siti Rahmawati - 17 Jul 2023

Bagikan:
img

Batemuritour.com- Musim berhaji telah usai, namun spirit spiritual haji masih kita rasakan euforianya. Menilik lebih lanjut pelaksanaan haji di masa lalu, akan menjadikan kita lebih bersyukur.

 

Perjalanan haji pada masa lalu bukan hanya masalah finansial, ibadah ini menghadirkan banyak rintangan yang sangat dekat dengan kematian. Tulisan ini memuat beberapa kisah dari sulitnya perjalanan Haji di Indonesia pada masa lalu.

 

Sumber gambar : voi.id

 

Jika dibandingkan dengan masa lalu, praktis berhaji pada masa kini jauh lebih mudah untuk dijalani, terutama dalam perjalanan haji. Pada masa kini ada begitu banyak kemudahan dalam akses berhaji. 

Di Indonesia sendiri semua transportasi haji yang membawa jamaah dari Indonesia ke wilayah Arab menggunakan pesawat udara. Anda hanya perlu duduk tenang dan santai, sembari berdzikir atau melakukan amalan lain, dan sekitar 9 jam kemudian anda sudah mendarat di Arab Saudi. 

 

Dari sana anda akan diantar menggunakan beberapa alternatif transportasi darat menuju Mekkah dan Madinah, maka dimulailah rangkaian ibadah haji anda, cukup mudah bukan. Namun tak dapat dipungkiri kemudahan yang kita dapatkan saat ini berbanding terbalik dengan perjalanan haji sekitar 100 tahun lalu, perjalanan haji sungguh tidak menyenangkan bahkan cenderung beresiko pada kematian. 

 

Baca juga:

 

Metafora Perjalanan menuju kematian

Metafora kematian yang dimaksud karena sulitnya perjalanan haji pada masa lalu, terutama pada abad 19 dan awal abad 20. Bayangkan untuk mencapai Pelabuhan Jeddah dari wilayah Indonesia dan Semenanjung Malaya dibutuhkan waktu sekitar 6 bulan pelayaran. Bahkan bisa lebih lama jika kondisi perairan sedang tidak bagus.

 

Perjalanan haji pada masa lalu tidak dimulai Pada Bulan Dzulqa'dah atau paling dekat pada bulan Dzulhijjah. Calon jamaah haji harus memperhitungkan waktu perjalanannya jauh sebelum ibadah haji dimulai pada tahun. 

Pada masa lalu rata-rata perjalanan haji pulang pergi butuh waktu sekitar 3-4 tahun. Sebagian dari para haji ini ada menghabiskan waktu dengan belajar, terutama para ulama. Namun ada juga yang bernasib "sial", dimana tertundanya kepulangan mereka karena kehabisan uang untuk membeli tiket perjalanan. Mereka harus berhutang dengan agen-agen haji mereka untuk bisa membeli tiket pulang. 

 

Sebagai gantinya, mereka harus bekerja pada perkebunan-perkebunan milik agen-agen haji tersebut, terutama yang berada di Semananjung Malaya. Sebagian lagi dari jamaah haji yang berusia renta biasanya jarang kembali dalam keadaan sehat, sebagian wafat di perjalanan. Sebagian memang berharap dapat wafat di Kota Mekkah atau Madinah. Namun tragisnya bagi yang wafat di perjalanan terutama di laut, jenazahnya akan dibuang ke laut. 


 

Kisah-kisah Orang Indonesia Naik Haji 1482-1964, Sebagian besar kisah perjalanan haji pada masa lalu terutama sebelum abad 20 sangat sulit untuk dijalani. Bukan hanya perkara biaya dari ibadah ini, namun kesiapan fisik, mental, dan juga psikologi yang membuat perjalanan ini begitu berat, seakan sangat dekat dengan kematian.

 

Baca juga : Ka’bah Bukan Tujuan, Tapi Pedoman Arah!

 

Dalam sebuah artikel pada Surat Kabar Bintang Hindia tanggal 19 September 1903 dimuat sebuah berita menarik berjudul Perjalanan Ke Tanah-Toedji (Perjalanan Ke Tanah Suci). Penulis yang bernama Dja Endar mengungkapkan bahwa ketika di Mekkah akan ditemui banyak orang yang bersedia membantu kesusahan jamaah haji namun meminta imbalan yang besar ketika sudah membantu, padahal di awal mereka mengatakan ikhlas membantu karena Allah. 

 

Belum lagi dihitung dengan banyak penipu yang mengaku sebagai Imam Syafi’i, Syekh terkemuka, dan lain lain yang mampu menghapuskan dosa-dosa para jamaah haji. Namun ironisnya tetap banyak saja jamaah haji, terutama dari Indonesia yang percaya hal demikian.


 

Kemuliaan Agama dan Pengaruh Sosial

Lantas jika perjalanan haji sesulit dan serumit demikian mengapa prosesinya tetap dijalani ?

 

Salah satu buku menarik berjudul Ulama & Kekuasaan, Pergumulan Elite Muslim Dalam Sejarah Indonesia (2012) karya Jajat Burhanudin mengatakan bahwa segala macam bahaya dan rintangan prosesi ibadah haji pada masa lalu justru malah meningkatkan jumlah jamaah haji dari Indonesia seiring tahun. Bahkan antara tahun 1880-1885 jumlah jamaah Haji dari Indonesia sekitar 15% dari total keseluruhan jamaah haji di Arab.


 

Bagi banyak orang, terutama bagi ulama, kedudukan Makkah sangat penting untuk hegemoni simboliknya. Pengalaman berhaji dan belajar di Mekkah dapat meningkatkan otoritas dan pengaruh intelektual ulama di tengah-tengah umat islam di daerahnya.

 

Sedangkan bagi masyarakat biasa menjadi haji juga secara simbolik menjadi penanda status dan identitas sosial mereka sebagai elit di daerahnya. Mereka yang pernah naik haji akan memakai kopiah putih dan sorban putih, sebuah simbol umum yang digunakan para haji dan ulama di Indonesia. Kopiah dan sorban bukan hanya menjadi aksesoris belaka namun penanda dan legitimasi atas identitas tersebut.

 

Oleh sebab itu walaupun ibadah haji mengandung bahaya dalam arti yang sebenarnya, prosesi ibadah ini tetap dilakukan banyak orang. Sebagian memang mencari kemuliaan dari Allah, Sebagian lagi mengharapkan hal yang lebih, terutama menjadi mulia di tengah masyarakatnya.

 

Baca juga:

 

Waallahu A'alam Bisshowab

 

Sekian pembahasan Batemuritour kali ini, bagi kalian yang ingin bertanya ataupun berkomentar terkait konten-konten Islami silahkan hubungi email kami di umrah.batemuri@gmail.com atau terus cek artikel kami di www.batemuritour.com

 









Whatsapp Logo
Start a Conversation Hi! Click one of our member below to chat on Whatsapp