Batemuritour.com- Di Indonesia, yang sebagian besar masyarakatnya beragama Islam, ibadah haji jadi hal yang begitu penting. Selain untuk menunaikan rukun Islam, haji jadi penanda status sosial seseorang di lingkungan masyarakat.
Dalam konteks ekonomi, haji juga jadi bisnis, bahkan sejak zaman Hindia Belanda. namun, tidak semua bisnis itu dijalankan dengan benar. Berbagai masalah menaungi masalah haji di zaman Hindia Belanda.
Di zaman itu ibadah haji menimbulkan persaingan bisnis yang ketat. Saking ketatnya, ibadah haji kerap diwarnai aksi culas, dari monopoli hingga penipuan. Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, perjalanan haji di Hindia Belanda diwarnai dengan kuatnya monopoli bisnis oleh biro perjalanan haji swasta. Monopoli itu direstui pemerintah Hindia Belanda lewat pemberian izin, hingga begitu banyak jemaah yang dirugikan.
Dalam konteks penipuan, praktik itu banyak menjerumuskan jemaah haji ke dalam perbudakan. Lainnya, terkait pemberian gelar haji palsu kepada jemaah yang bahkan belum sampai ke Makkah. Begitu banyak bentuk penyimpangan dalam pengurusan ibadah haji zaman itu.
Baca juga :
Meski begitu tak diketahui pasti kapan umat Islam di Nusantara mulai menunaikan ibadah haji. Namun ada satu nama yang tercatat sejarah sebagai orang pertama dari Nusantara yang pergi haji. Ia adalah Pangeran Abdul Dohhar, putra dari Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten. Ia pergi beribadah haji pada tahun 1630.
Di tahun berikutnya, semakin banyak orang pergi haji. Tradisi ibadah bahkan berkembang menjadi tradisi pendidikan. Orang-orang yang semula pergi ke Makkah hanya untuk beribadah haji kemudian turut menuntut ilmu agama Islam. Sepulang dari Makkah, orang-orang itu membawa ilmu agama dan mengajarkannya di Tanah Air.
Tantangan ibadah haji makin berat tahun ke tahun. Dikutip dari buku Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje Jilid VIII karya Soedarso Soekarno, salah satu tantangan yang dihadapi jemaah haji kala itu adalah ibadah yang memakan waktu lama.
Saat itu, sebelum ada kapal uap, jemaah berangkat haji menggunakan perahu layar menuju Aceh. Dari sana mereka menumpang kapal dagang menuju India. Tak ada kapal yang langsung membawa mereka ke Makkah. Setelah dari India, mereka melanjutkan perjalanan menaiki kapal ke Yaman. Jika beruntung, mereka mendapatkan kapal yang langsung ke Jeddah.
Baca juga:
Rute perjalanan ini bisa memakan waktu setengah tahun dalam sekali keberangkatan. Kendala lain yang harus dihadapi jemaah haji adalah karamnya kapal yang ditumpangi hingga mengakibatkan penumpang kapal tenggelam atau terdampar di pulau. Ada pula jemaah haji yang harta bendanya dirampok bajak laut atau malah hartanya dijarah oleh awak kapal itu sendiri sehingga niat berhaji pun kandas.
Perjalanan ibadah haji dari Hindia Belanda mulai dimudahkan ketika Terusan Suez dibangun tahun 1869. Saat itu jumlah kapal uap yang berangkat dari Hindia Belanda menuju Jeddah semakin ramai. Bukan hanya mereka yang berhaji tapi juga yang bermukim di Makkah. Akibatnya jumlah jemaah haji yang pulang ke Tanah Air lebih banyak dibanding yang berangkat.
Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran bagi pemerintah kolonial. Otoritas di Hindia Belanda kala itu tidak dapat mengawasi aktivitas penduduk Hindia Belanda di luar pelaksanaan ibadah haji. Saat itu pemikiran Pan Islamisme di Timur Tengah sedang marak.
Pemerintah Hindia Belanda khawatir gagasan dari pemikiran itu masuk ke wilayah jajahan dan memunculkan gerakan perlawanan di masyarakat. Akhirnya pemerintah Hindia Belanda membuka konsulat di Jeddah pada tahun 1872. Di samping itu pemerintah Hindia Belanda juga mulai menangani langsung proses ibadah haji, mulai dari keberangkatan hingga kepulangan ke Tanah Air.
Baca juga:
Waallahu A'alam Bisshowab
Sekian pembahasan Batemuritour kali ini, bagi kalian yang ingin bertanya ataupun berkomentar terkait konten-konten Islami silahkan hubungi email kami di umrah.batemuri@gmail.com atau terus cek artikel kami di www.batemuritour.com