Batemuritour.com- Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan kebijakan Staatsblad van Nederlandsch-Indie, lembaran negara Hindia Belanda yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam negeri yaitu (Stbl) no. 316, tanggal 12 Agustus 1902 untuk mengatur perjalanan pelaksanaan ibadah haji di Hindia Belanda.
Kebijakan tersebut berisi ketentuan-ketentuan yaitu, jamaah haji diwajibkan memiliki pas haji, jamaah haji harus melalui prosedur yang telah ditentukan untuk memperoleh pas haji, pemberian visa, sanksi bagi yang melanggar peraturan, pembayaran pas haji dan Retour Biljetten (tiket pulang pergi).
Selanjutnya, dalam kebijakan Stbl no. 318, dikeluarkan ketentuan tentang sistem visa ganda yaitu, visa ketika berangkat dan visa ketika kembali. Pada saat jamaah haji Hindia Belanda hendak melaksanakan ibadah haji, pas jalan tersebut diwajibkan mendapatkan visa dari kepala pelabuhan. Setelah sampai di Jeddah, pas jalan tersebut disimpan kepada konsul di Jeddah. Selama melaksanakan ibadah haji, para jamaah haji diberikan pas-tinggal sementara oleh konsul.
Selanjutnya, saat akan kembali ke Hindia Belanda pas jalan yang disimpan dikembalikan sekaligus diberikan visa oleh konsul. Kebijakan mengenai visa ganda pun menuai diskusi panjang di antara para konsul di Jeddah, C.Ch. M. Henny (1903-1905) seorang konsul di Jeddah mengusulkan supaya visa ganda tersebut disatukan dalam satu kali register saja karena visa ganda pada dasarnya tidak memiliki dasar hukum.
Baca juga :
Akan tetapi, Konsul N. Scheltema (1905-1911) berpendapat bahwa visa ganda tidak bertentangan dengan peraturan karena sudah dipraktekkan. Setelah tahun 1912, pada saat pemerintahan Hijaz dikuasai oleh pemerintahan Hasyimiah dan Saudiah permasalahan visa haji tidak diperdebatkan lagi.
Namun, permasalahan pelaksanaan ibadah haji terus berlangsung. Di mana saat terjadinya Perang Dunia Pertama (1914-1918) pelaksanaan ibadah haji tidak dapat dilaksanakan.
Perang Dunia Pertama (1914-1918) telah mempengaruhi pelaksanaan ibadah haji saat itu, karena Turki salah satu bagian dari perang tersebut merupakan penguasa Hijaz, berada di pihak Jerman. Hijaz merupakan pusat dari serangkaian kegiatan haji. Berdasarkan situasi tersebut, pemerintah Hindia Belanda menghentikan kegiatan kapal-kapal haji milik perusahaan Belanda.
Pengangkutan jamaah haji asal Indonesia dilakukan oleh perusahaan Arab yang terdiri dari Said Umar al-Segaff, Omar Nasif dan Muhammad Ali yang menetapkan Singapura sebagai pelabuhan haji. Walaupun demikian, pemerintah Belanda tetap mengerahkan kapal-kapal haji ke Mekkah untuk mengangkut pulang jamaah haji asal Hindia Belanda.
Baca juga :
Pada tanggal 20 November 1914, kapal jamaah haji yang terakhir meninggalkan Jeddah yang mengangkut rombongan haji. Dalam rombongan tersebut ikut pula Konsul Belanda di Jeddah, Wolff yang hendak pulang ke Belanda dan pengelolaan Konsulat diserahkan kepada sekretaris-drogman. Di Laut Merah Wolff ganti kapal dan naik kapal pos ke Eropa.
Pada saat itu, masih ada 1600 jamaah haji asal Hindia Belanda yang tertinggal di Jeddah. Pada akhir bulan Desember Kementerian Penjajahan memberitahukan lewat telegraf kepada Gubernur Jenderal Idenburg di Batavia bahwa sisa jamaah haji telah diberangkatkan.
Pada akhir tahun 1914, kebanyakan jamaah haji sudah pulang ke Hindia Belanda, akan tetapi terdapat 3000 mahasiswa yang memilih tinggal. Dalam keadaan perang, banyak kesulitan yang dihadapi oleh mukim asal Hindia Belanda di Hijaz. Oleh karena itu, pada bulan Juli 1915 Konsul Wolff kembali ke Jeddah untuk membantu para mukim tersebut sekaligus mengusahakan agar bisa kembali ke Hindia Belanda.
Baca juga :
Waallahu A'alam Bisshowab
Sekian pembahasan Batemuritour kali ini, bagi kalian yang ingin bertanya ataupun berkomentar terkait konten-konten Islami silahkan hubungi email kami di umrah.batemuri@gmail.com atau terus cek artikel kami di www.batemuritour.com