batemuritour.com - Tradisi masyarakat yang memakan daging bangkai, dikenal dengan nama 'Mbrandu' atau porak di daerah Gunungkidul, telah menjadi perbincangan yang kontroversial dan penuh keprihatinan. Meskipun awalnya muncul dari niat baik untuk membantu peternak yang mengalami musibah, tradisi ini memunculkan banyak pertanyaan mengenai kesehatan, moralitas, dan budaya.
Tradisi Mbrandu berawal dari aksi solidaritas. Ketika peternak mengalami kerugian karena ternaknya mati akibat sakit, warga berusaha untuk mengganti kerugian tersebut dengan membeli daging hewan yang mati. Namun, selama bertahun-tahun, tradisi ini berkembang dan daging bangkai tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tanpa mempertimbangkan risiko kesehatan yang mungkin terjadi.
Baca juga: Biaya Haji 2024 akan Naik Lagi ?
Alasan awal untuk melakukan Mbrandu adalah keadaan darurat seperti kemiskinan dan kelaparan. Namun, saat ini, kondisi daerah tempat terjadinya tradisi tersebut telah berubah, dan alasan-alasan tersebut tidak lagi relevan. Dalam pandangan syariat Islam, mengonsumsi atau berdagang dengan bangkai hewan ternak seperti kambing atau sapi dilarang, mengingat adanya risiko kesehatan yang dapat membahayakan manusia.
Ada beberapa hikmah dan implikasi dari pengharaman bangkai dalam pandangan medis:
1. Pertumbuhan Bakteri Berbahaya: Daging bangkai yang tidak diolah dengan benar menjadi tempat subur bagi bakteri pembusuk dan berbahaya. Bakteri-bakteri ini dapat berkembang biak dengan cepat dan menghasilkan racun yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia yang mengonsumsinya.
2. Bahaya Senyawa Racun: Bau busuk yang dihasilkan oleh daging bangkai berasal dari senyawa racun yang dihasilkan oleh bakteri pembusuk. Senyawa-senyawa ini memiliki potensi untuk memberikan dampak negatif pada kesehatan manusia yang mengonsumsinya.
3. Penyebaran Penyakit: Jika hewan mati karena penyakit, seperti penyakit antraks yang disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis, dikhawatirkan bahwa bibit penyakit tersebut dapat bertahan dalam tubuh hewan yang mati dan menular kepada manusia yang mengonsumsinya.
Dalam menghadapi fenomena Mbrandu, penting bagi masyarakat dan pemerintah setempat untuk berkolaborasi dalam mencari solusi yang tepat. Pendidikan dan pemahaman mengenai risiko kesehatan yang terkait dengan tradisi ini harus ditingkatkan. Selain itu, alternatif solidaritas dan dukungan terhadap peternak yang terkena musibah bisa dijajaki, tanpa harus mengorbankan kesehatan dan etika.
Merubah cara pandang dan praktek tradisional yang telah tertanam dalam masyarakat bukanlah tugas yang mudah. Namun, dengan edukasi yang tepat, kesadaran akan pentingnya kesehatan, dan upaya kolaboratif, perubahan positif dapat dicapai tanpa menghilangkan makna budaya dan nilai solidaritas yang ada. Mbrandu menjadi momentum untuk menggali lebih dalam tentang bagaimana tradisi dan nilai-nilai dapat berkembang sesuai dengan perubahan zaman, sambil tetap menjaga kesejahteraan masyarakat.
Sekian pembahasan Batemuritour kali ini, bagi kalian yang ingin bertanya ataupun berkomentar terkait konten-konten Islami silahkan hubungi email kami di umrah.batemuri@gmail.com atau terus cek artikel kami di www.batemuritour.com