Batemuritour.com-Beliau adalah Zainuddin, Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad ibnu Muhammad al-Ghazali at-Ṭusi al-Naisaburi al-Faqih al-Shufi al- Syafi’i al-Asy’ari. Lahir di kota Tus yang merupakan kota kedua di Khurasan setelah Naisabur, pada tahun 450 H. Beliau mempunyai saudara laki-laki yang bernama Ahmad.
Ayahnya adalah seorang fakir yang saleh. Tidak memakan kecuali hasil pekerjaannya dari kerajinan. Kebiasaannya adalah berkeliling mengunjungi ahli fikih dan mendengarkan pengajiannya. Menghidupi keluarganya dengan nafkah semampunya. Apabila mendengar perkataan mereka (ahli fikih), beliau menangis dan berdoa memohon diberi anak yang faqih. Apabila hadir di majelis ceramah nasihat, beliau menangis dan memohon kepada Allah untuk diberikan anak yang ahli dalam ceramah dan nasihat.
Nampaknya Allah mengabulkan doanya. Imam al-Ghazali menjadi seorang yang faqih dan saudaranya “Ahmad” menjadi seorang yang ahli dalam memberi ceramah nasihat. Setelah ayahnya meninggal, maka al-Ghazali dan Ahmad dirawat dan dididik oleh teman ayahnya, seorang sufi yang diberi wasiat oleh ayahnya tersebut. Beliau berdua belajar dengan tekun hingga sampai suatu saat harta peninggalan orang tuanya sudah habis.
Pengalaman dirampok tersebut sangat membekas dalam benak al-Ghazali sesampainya di Tus. Beliau khawatir ilmunya akan hilang. Untuk itu selama tiga tahun, al-Ghazali merenung, berfikir, dan menghafal seluruh pelajaran yang diterima dari gurunya. Setelah itu, al-Ghazali melanjutkan pengembaraan studinya ke kota Naisabur. Di sini berguru kepada Imam Haramain al- Juwaini, seorang ulama besar aliran Asy’ariyah, hingga berhasil menguasai berbagai disiplin ilmu dengan sangat baik fikih mazhab Syafi’i, ilmu perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan filsafat.
Baca juga :
Di Nisabur ini, al-Ghazali mulai mengembangkan bakat menulisnya sehingga membuat kagum gurunya, sehingga diberinya gelar “Bahr al-Mughriq” (laut yang dalam dan menenggelamkan). Setelah Imam Haramain meninggal, berangkatlah Imam Ghazali pergi ke Muaskar untuk bergabung dengan majelis seminar yang digelar oleh Wazir Nidzam al-Muluk.
Kemudian Nidzam al-Mulk mengangkatnya menjadi pengajar di madrasahnya, dan memerintahkannya untuk pindah ke sana. Pada tahun 484 H pada usia tiga puluhan tahun, al-Ghazali diangkat sebagai guru besar dan Rektor Universitas Nizamiyah di Baghdad. Di Universitas ini, al-Ghazali mempunyai kesempatan yang luas untuk mengembangkan pemikirannya pada bidang fikih, ilmu kalam, maupun filsafat.
Pengaruh filsafat dalam diri beliau begitu kentalnya. Beliau menyusun buku yang berisi kritik terhadap filsafat, seperti kitab at-Tahafut al-Falasifah yang berisi kritikan tajam terhadap filsafat. Walaupun demikian, beliau tetap mengambil sisi positif filsafat yang dinilainya ada sisi kebenaranya juga. Beliau juga gemar meneliti kitab Ikhwan as-ṣafa dan kitab-kitab karangan Ibnu Sina. Dengan kejeniusan dan kepakarannya dalam fiqih, tasawuf dan ushul maka beliau menyelami semua bidang keilmuan tersebut dengan mendalam.
Imam al-Ghazali adalah penulis yang sangat produktif, bahkan sampainsekarang sulit mencari tandingan penulis yang produktif seperti beliau. Tidak kurangndari 457 kitab telah ditulisnya. Di antara karya Imam al-Ghazali yang monumentalnadalah Kitab Ihya’ Ulumuddin (menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama).
Baca juga :
Berikut ini adalah sebagian kitab yang ditulis oleh Hujjatul Islam Imam al-Ghazali:
a. Ihya’ Ulumu ad-Din (menghidupkan ilmu-ilmu agama).
b. Mukasyafah al-Qulub (terbukanya hati)
c. Mizan al-‘Amal (timbangan amal)
d. Kimiya as-Sa’adah (kimia kebahagiaan)
e. Misykat al-Anwar (relung-relung cahaya)
f. Minhaj al-‘Abidin (metode orang-orang beribadah)
Inti ajaran tasawuf
Sebelum menempuh jalur sufí, al-Ghazali telah melewati pengembarannya di berbagai bidang keilmuan, mulai dari ilmu fikih, filsafat, ilmu kalam, dan yang terakhir adalah tasawuf. Bagi al-Ghazali, para sufilah yang menempuh jalur yang benar karena mereka memadukan antara ilmu dan amal, memiliki ketulusan tujuan, dan betul-betul mengalami ketenteraman dan kepuasan karena mendapat pencerahan dari Allah Swt.
Al-Ghazali mengatakan, ilmu yang dicapai para sufí bisa mematahkan hambatan-hambatan jiwa serta membersihkan moral atau sifatnya yang buruk dan tercela, sehingga mengantarkannya pada keterbatasan kalbu dari segala sesuatu selain Allah serta menghiasinya dengan ingat kepada Allah. Seorang murid yang menempuh jalan sufí harus konsisten menjalani hidup, menyendiri, diam, menahan lapar, dan tidak tidur pada malam hari untuk membina kalbunya. Manfaat hidup menyendiri adalah mengosongkan kalbu dari pesona duniawi. Diam adalah untuk menyuburkan akal-budi, membangkitkan rendah hati, dan mendekatkan ketakwaan.
Rasa lapar dapat mencerahkan kalbu, sementara terjaga pada malam hari adalah untuk menjernihkan dan mencemerlangkannya. Oleh para ahli, corak tasawuf yang diamalkan oleh al-Ghazali termasuk pada kategori tasawuf akhlaki, yaitu tasawuf yang mengedepankan kepada perbaikan budi pekerti atau moral.
Al-Ghazali membedakan tasawuf sebagai ilmu muamalah dan tasawuf sebagai ilmu mukasyafah. Ilmu Mu’amalah membicarakan tentang keadaan-keadaan hati (ahwal qalb). Keadaan hati itu menurut al-Ghazali terbagi menjadi dua. Pertama, keadaan hati yang terpuji seperti sabar, syukur, rasa takut, penuh harap, rida, dll.
Puncak tujuan tasawuf bagi al-Ghazali adalah al-qurb (kedekatan dengan Allah) atau di bagian lain tulisannya al-fana’ bi al-kulliyat fi Allah (fana’ secara total di hadapan Allah). Dalam hal ini, ia menjelaskan suatu tingkatan tauhid tertinggi, “bahwa dia tidak melihat dalam yang wujud kecuali Yang Esa, yaitu syuhud (kesaksian batin), orang-orang siddiq, para sufí menamakannya dengan fana’ dalam tauhid karena dia tidak melihat kecuali Yang Esa, dia juga tidak melihat dirinya.
Perjalanan menuju puncak itu dinamakan suluk. Salik (orang yang menempuh suluk) akan sukses bila sempurna substansi hatinya dan mempunyai iradah (kemauan menyingkapkan tabir yang melintang antara dirinya dan Allah (yakni harta, kehormatan, taqlid atau fanatisme aliran, dan maksiat). Ketika tabir-tabir itu tersingkap, seorang salik membutuhkan seorang guru yang menuntunnya, dan butuh tempat untuk mengasah ketajaman batinnya, yaitu zawiyah sebagai tempat khalwat dan mengkonsentrasikan hati.
Untuk melewati setiap tahapan, seorang salik harus melakukan riyadah dan mujahadah. Adapun yang dinamakan riyadah (latihan kerohanian) adalah pembinaan diri dengan suatu perbuatan yang pada awalnya menjadi beban dan pada akhirnya menjadi tabiat atau karakter. Adapun mujāhadah adalah perjuangan melawan tarikan hawa nafsu.
Baca juga :
Waallahu A'alam Bisshowab
Sekian pembahasan Batemuritour kali ini, bagi kalian yang ingin bertanya ataupun berkomentar terkait konten-konten Islami silahkan hubungi email kami di umrah.batemuri@gmail.com atau terus cek artikel kami di www.batemuritour.com