Mengenal Qawaidul Fiqhiyyah Dalam Ilmu Fiqh

By. Ibnu Fikri Ghozali - 23 Oct 2023

Bagikan:
img

Qawaidul Fiqhiyyah adalah salah satu serangkaian hukum yang bisa digunakan dalam pengambilan hukum dalam Islam. Seorang muslim dikatakan Fakih apabila ia mampu menguasi semua bidang dalam keislaman terutama ilmu-l-fiqh yang di dalamnya terdapat qawaidul fiqhiyyah.

Baca juga: Hari Santri Dan Semangat Ke-Indonesiaan

Kaidah-kaidah fiqh ini juga akan mempermudah untuk menentukan sebuah hukum pada ilmu fiqh.  Mempelajari kaidah fikih memiliki banyak manfaat yang tak terhitung jumlahnya. Imam Jalaluddin As-Suyuthi, menyatakan bahwa dengan menguasai ilmu kaidah fikih, maka seseorang akan mengetahui hakikat fikih, dasar-dasar hukumnya, landasan pemikirannya, dan rahasia-rahasia terdalamnya. (Lihat: Jalaludin As-Suyuthi, Al-Asybah wa an-Nadhair, hlm. 6)

Ulama Indonesia juga mempunyai Kitab yang membahas tentang Qawaidul Fiqhiyyah. Kitab yang membahas ragamnyha kaidah-kaidah dalam fiqh yang nantinya akan mempermudah seorang muslim dalam mementukan sebuah huku. Kitab tersebut adalah Fawaidul Janiyyah. Kitab yang dikarang oleh Syekh Yasin bin Isa al-Fadani. Sepertinya apa yang kita lihat dalam sebuah julukan namanya, Fadani. Itu dinisbatkan sebuah nama kota kelahiran yang berarti kota Padang. Kitab ini juga cukup popular di kalangan pesantren tradisional.

Banyak manfaat yang akan kita dapatkan apabila kita mempelajari dari ilmu tersebut. seperti apa yang sudah saya tulis diatas. Itu akan mempermudah seseorang dalam menentukan sebuah istinbathul hukm. Ini sejalan denga napa yang dikatakan oleh ulama pendahulu bahwa,

مَنْ رَاعَى الْأُصُوْلَ كَانَ حَقِيْقًا بِالْوُصُوْلِ وَمَنْ رَاعَى الْقَوَاعِدَ كَانَ خَلِيْقًا بِإِدْرَاكِ الْمَقَاصِدِ

“Barang siapa yang memperhatikan (memahami dan mengikuti) ilmu ushul fiqih, tentu ia akan sampai kepada maksud (hukum-hukum fiqih), dan barang siapa yang memperhatikan kaidah fiqih, tentu dia akan mencapai yang dimaksud (hukum-hukum fiqih).”

Ada banyak kaidah yang dihasilkan para ulama. Namun hanya lima kaidah yang dijadikan sebagai kaidah utama. Para ulama mengatakan bahwa kaidah lima ini bisa dinamakan sebagai kaidah fiqhiyyah Kubro. Banhwa seluruh masalah fiqhiyyah akan dikembalikan pada kaidah al-khomsah atau yang lima ini.

اَلْأُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا

1. Semua perbuatan tergantung niatnya.

Dalil kaidah ini adalah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“Sesungguhnya amal itu tergantung niat, dan seseorang akan mendapatkan sesuai niatnya.” (Hr. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Ibnu Majah)

Baca juga: Ada Keberkahan Lho Dalam Silaturrahmi !!!

Maksud dari kaidah ini adalah bahwa semua perbuatan manusia harus didasari dengan niat. Baik terhadap Allah SWT ataupun dengan antar sesame manusia. baik buruknya perbuatan akan berkaitan dengan niat seseorang.

اَلْيَقِيْنُ لاَ يُزَالُ بِالشَّكِّ

2. Keyakinan tidak dapat disingkirkan oleh keraguan.

Dalil kaidah ini adalah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berikut,

« إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِى صَلاَتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى ثَلاَثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ

“Apabila salah seorang di antara kamu ragu-ragu dalam shalatnya, ia tidak ingat apakah sudah shalat tiga rakaat atau empat rakaat, maka singkirkanlah keragu-raguan dan dasarilah sesuai yang diyakini.” (HR. Muslim)

Maksud dari kaidah ini adalah bahwa keyakinan seseorang dalam melakukan sebuah ibadah tidak bisa disingkirkan oleh sebuah keraguan. Misalnya saja dengan hadist yang saya tuangkan di atas.

Ketika seorang melakukan sholat Isya’ kemudian ia ragu dengan jumlah raka’at yang sudah ia kerjakan. Apakah ia sudah di rakat 3 atau 4. Maka apabila ia yakin dengan jumlah 3 raka’at yang dilakukan, makai ia hanya melanjutkan jumlah raka’at yang belum dikerjakan.

3. اَلْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ

3. Kesulitan mendatangkan kemudahan.

Dalil kaedah ini adalah firman Allah Ta’ala berikut,

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمْ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمْ الْعُسْرَ

“Allah menginginkan kemudahan untukmu dan tidak mengingikan kesulitan.” (Qs. Al Baqarah: 185)

Maksud dari kaidah ini bahwa Allah memberikan keringanan bagi orang yang tidak bisa melakukan sebuah Ibadah karena ada suatu halangan yang sangat mendesak. Misalnya saja  apabila kita sakit, dan kita tidak bisa berdiri karena sakit tersebut. Maka kita bisa mengerjakan sholat dengan cara duduk. Kemudian banyak permisalan lain seperti kita dalam perjalanan jauh, kitab isa man-jamak sholat tersbut.

اَلضَّرَرُ يُزَالُ

4. Bahaya harus disingkirkan
Dalil kaedah ini adalah hadits,

«لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ»

Tidak boleh membahayakan diri dan orang lain. (Hr. Ibnu Majah)

Maksud dari kaidah ini adalah seseorang tidak boleh membahayakan diri sendiri ataupun orang lain. Misalnya saja dalam masalah munakahat (pernikahan), Islam membolehkan perceraian dalam situasi dan kondisi rumah tangga yang sudah tidak teratasi agar kedua suami istri tidak mengalami penderitaan batin terus-menerus. Demikian pula dizinkan faskh (pembatalan pernikahan) karena aib.

Baca juga: Ini Lhoo !!! Do’a Yang Sering Dibaca Nabi Muhammad SAW

اَلْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ

5.  Adat kebiasaan dapat dijadikan hukum.

Dalil kaedah ini adalah pernyataan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu,

«مَا رَآهُ الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ»

“Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin (para sahabat), maka hal itu baik pula di sisi Allah.”

Maksud dari kaidah ini adalah bahwa adat pada masyarakat bisa dijadikan sebuah landasan hukum dalam tatanan masyarakat tersebut. Namun di sini harus digaris bawahi, bahwa adat yang dimaksud tidak bertentangan dengan syariat Islam itu sendiri.

 









Whatsapp Logo
Start a Conversation Hi! Click one of our member below to chat on Whatsapp