Batemuritour.com- Perjalanan ziarah ke makam Imam Waqi' dan Imam Syafi'i menjadi pengalaman yang tak terlupakan. Melalui jalan setengah makadam, kami tiba di tempat peristirahatan dua ulama besar yang memiliki warisan ilmu yang tak ternilai. Imam Syafi'i, sosok yang menarik perhatian, lahir pada tahun 150 H atau 767 M, dan wafat pada akhir malam bulan Rajab tahun 204 H atau 820 M.
Baca juga: Keutamaan Ibadah Haji dan Umrah: Menelusuri Kenikmatan dan Pengorbanan
Meskipun perjalanan menuju makam Imam Syafi'i tak selancar aspal, setiap langkah di jalan setapak ini memberikan kenangan tak tergantikan. Imam Syafi'i, pembangun madzhab ketiga, adalah tokoh yang memegang peran penting dalam pengembangan ilmu Ushulil Fiqih. Pemikirannya menjadi fondasi bagi pemahaman hukum Islam.
Imam Syafi'i bukan hanya seorang cendekiawan agama, tetapi juga seorang hakim yang dikenal akan keadilan dan kecerdasannya. Sebagai pemuka ilmu tafsir dan hadis, beliau menjelma menjadi figur multitalenta. Keahliannya dalam sastra, kemahiran memanah, dan semangat pengembaraannya dalam menuntut ilmu membuatnya diakui oleh sebagian besar ulama.
Gelar "matahari yang cemerlang" yang disematkan padanya tidaklah berlebihan. Kata-kata pujian dari Imam Ahmad menggambarkan betapa gemilangnya peran Imam Syafi'i dalam dunia keilmuan. Kecemerlangannya bukan hanya tercermin dalam pengetahuan agama, tetapi juga dalam kemahiran sastra dan kepakaran pemanahan.
Baca juga: Ketulusan dalam Pelayanan: Pelajaran Berharga dari Imam Junaid al-Baghdadi
Imam Syafi'i dilahirkan di Gaza, Palestina, dan meninggalkan dunia pada akhir malam bulan Rajab di tahun 204 H. Hidupnya berada dalam masa Kekhalifahan Abbasiyah pertama. Selama perjalanan hidupnya, Imam Syafi'i berpindah tempat, belajar di Makkah, berguru kepada Imam Malik, bekerja di Yaman, dan berguru kepada Qodhi Muhammad bin Hasan Assyaibani di Baghdad.
Karya-karya besar Imam Syafi'i seperti Ar-Risalah Al-Qodimah, yang ditulis di Baghdad, dan Ar-Risalah Al-Jadidah, yang dihasilkan di Mesir, menunjukkan kedalaman pemahamannya dalam bidang ilmu agama. Dengan karismanya, beliau menyebarluaskan madzhabnya dan berdebat dengan para ulama yang memiliki pandangan berbeda.
Perjalanan ilmu Imam Syafi'i tidak terlepas dari guru-guru dan murid-muridnya yang turut membentuk pemikiran dan warisan ilmiahnya. Dibesarkan di Makkah, hafal Qur'an pada usia tujuh tahun, dan menguasai kitab Muwatto' Imam Malik pada usia sepuluh tahun, perjalanan keilmuan Imam Syafi'i mencakup pengajaran dan pembelajaran yang mendalam.
Perjalanan hidup Imam Syafi'i menyeberangi batas geografis. Dari Makkah ke Mesir, dari guru ke guru, beliau memperoleh ilmu dan pengalaman yang meluas. Di Mesir, Imam Syafi'i tidak hanya merevisi karya-karyanya, tetapi juga menyebarkan madzhabnya hingga wafatnya pada tahun 204 H.
Baca juga: Perjumpaan yang Menginspirasi: Imam Yahya bin Yahya dengan Imam Malik bin Anas RA
Imam Syafi'i meninggalkan warisan ilmu yang luar biasa, terwujud dalam karya-karyanya seperti Ikhthilafu Hadits, Ahkamul Qur'an, dan Ihtilafu Malik wa Assyafi'i. Selain itu, syair-syairnya yang terangkum dalam Diwan Syafi'i memberikan perspektif religius yang dalam, menggugah hati para pembacanya.
Di perjalanan ziarah, tak terelakkan untuk merenungkan peran murid-murid cemerlang Imam Syafi'i. Diantaranya adalah Abu Tsaur Al-Baghdadi, Imam Ahmad bin Hambali, Imam Muzani Almisri, Al-Haris Al-Muhashibi, Ibnu Suraij Al-Baghdadi, dan masih banyak lagi. Mereka membawa estafet ilmu dan menyebarkan pemikiran Imam Syafi'i ke seluruh penjuru.
Ziarah ini menjadi kesempatan untuk melihat ke belakang, menyusuri jejak perjalanan ilmu dan kebijaksanaan Imam Syafi'i. Sementara itu, melalui warisan ilmu dan pemikirannya, kita diingatkan untuk menatap ke depan dengan semangat menuntut ilmu yang tiada henti. Imam Syafi'i bukan hanya menjadi "matahari" dalam dunia keilmuan, tetapi juga penerang bagi generasi-generasi yang akan datang.
Baca juga: Tafsir Surat Al-Anbiya' (21): Ayat 78-79 - Keputusan Bijaksana Daud dan Sulaiman