Batemuritour.com- Rencana Nabi Muhammad saw untuk melaksanakan ibadah haji ke Makkah menjadi sebuah momen penting yang diwarnai oleh kebijaksanaan dan kepemimpinan moral. Meskipun situasinya penuh dengan ketegangan dan potensi konflik, Nabi Muhammad tetap memilih jalur damai dan menunjukkan ketulusan niat ibadahnya.
Baca juga: Mengapa Isra Mi’raj Dilakukan di Malam Hari?
Dalam persiapan rihlah ibadah haji ke Makkah, Nabi Muhammad membuat keputusan berani untuk tidak membawa senjata apapun. Ini menjadi kontroversial di kalangan pengikutnya karena situasi politik antara penduduk Madinah dan Makkah masih memanas. Beberapa sahabat, termasuk Umar bin Khattab, menyatakan kekhawatiran mereka, menganggap perjalanan ke Makkah tanpa senjata seperti "domba menuju tempat penjagalan."
Namun, Nabi Muhammad tetap teguh pada niatnya untuk menjalankan ibadah haji tanpa membawa senjata. Bagi beliau, ibadah haji adalah tujuan utama, dan tidak ada niatan untuk melakukan ekspedisi militer atau menguasai Makkah. Ini mencerminkan keikhlasan dan kesucian niat yang ditekankan dalam ajaran Islam.
Berita tentang perjalanan Rasulullah dan para sahabatnya menyebar, dan Kaum Quraisy segera mengutus pasukan untuk menghadang mereka. Khalid bin Walid memimpin 200 kavaleri untuk menyerang kelompok tak bersenjata ini. Saat Nabi Muhammad tiba di Hudaibiyah, selatan Makkah, seekor unta yang dikendarai Rasulullah menolak untuk melanjutkan perjalanan. Para sahabat berusaha meyakinkan unta tersebut untuk bergerak, namun Nabi melihatnya sebagai tanda untuk kembali tanpa berperang.
Baca juga: Doa Perlindungan dari Api Neraka
Di tengah persiapan untuk perundingan dengan Quraisy, Nabi Muhammad menegaskan bahwa apa pun yang diminta oleh Quraisy akan dia setujui. Beliau menunjukkan rendah hati dan kesiapan untuk membuat kesepakatan demi mencapai kedamaian. Meskipun beberapa permintaan Quraisy mengecewakan banyak sahabat, Nabi Muhammad melihatnya sebagai langkah strategis untuk meraih kemenangan di masa depan.
Perjanjian Hudaibiyah kemudian disepakati, meskipun beberapa poin terlihat merugikan bagi umat Islam. Suhail bin Amr, perwakilan Quraisy, bahkan mencoba mengubah gelar "Muhammad Rasulullah" menjadi "Muhammad bin Abdullah." Meskipun penuh dengan kesulitan, Nabi Muhammad bersikap sabar dan tidak memprotes, menunjukkan kepemimpinan moral yang tinggi.
Peristiwa ini menggambarkan Nabi Muhammad sebagai seorang pemimpin yang mencintai kedamaian, menjunjung tinggi perjanjian, dan bersikap rendah hati dalam menghadapi ujian. Kesabaran dan keteguhan beliau dalam menghadapi tantangan membuktikan bahwa kebijaksanaan dan moralitas adalah landasan kuat kepemimpinan dalam Islam.
Baca juga: Bebas dari Utang dengan Doa Rasulullah
Kesepakatan Hudaibiyah juga menunjukkan bahwa meskipun terkadang kita mungkin menghadapi situasi sulit dan tampaknya tidak adil, tetapi dengan kesabaran, kebijaksanaan, dan integritas moral, kita dapat meraih kemenangan jangka panjang. Nabi Muhammad mengajarkan bahwa damai dan keadilan adalah prinsip utama dalam menjalani kehidupan, bahkan di tengah-tengah kesulitan dan konflik.