Batemuritour.com- Jika hari ini kita ditanya, hadits mana yang paling shahih? Kebanyakan akan menjawab hadits shahih bukhari. Benar memang hadits shahih bukhari menempati tempat khusus di kalangan umat Islam khususnya muslim sunni.
Kitab Hadits Shahih Bukhari dianggap kitab hadits yang paling shahih dibandingkan kitab-kitab hadits lainnya. Tak lain hal itu karena kegigihan penulis dalam rangka mencari hadits, mengumpulkan, menuliskan lantas memilah dan memilih mana yang dianggap valid dari Nabi dan mana yang dianggap lemah dalam penisbatannya kepada Nabi.
Hanya saja ternyata tak sedikit yang belum mengetahui biografi dari penulis hadits shahih Bukhari ini. Bahkan sekedar nama dari penulisnya saja banyak yang belum tahu. Bukankah namanya adalah al-Bukhari? Itu bukan nama aslinya. Berikut penjelasannya:
Baca Juga : Menjejak Kehidupan Imam Al-Shafi'i: Pemikiran dan Warisan Ilmiah
Kebanyakan orang memang hanya mengenal nama Bukhari saja. Nama beliau cukup singkat; Muhammad. Mungkin seperti asing hari ini di Indonesia, karena di Indonesia nama itu biasanya 2 suku kata atau bahkan 3 sampai 4 suku kata.
Beliau ber-kunyah Abu Abdillah, atau bapak dari Abdullah. Jadi nama beliau secara lengkap adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Barduzbah Al-Ju’fi Al-Bukhari. Barduzbah ini bahasa Bukhara yang artinya petani.
Beliau lahir pada hari Jum’at 13 Syawal 194 H atau bertepatan pada tanggal 21 Juli 810 M di kota Bukhara. Bukhoro atau Buxoro adalah suatu kota di Negara Uzbekistan hari ini. Maka beliau terkenal dengan nama al-Bukhari, karena lahir di Bukhara atau Buxoro.
Ketika Al-Bukhari masih kecil ayahnya meninggal, sehingga ibunya merawat dan mendidiknya seorang diri. Biaya pendidikannya itu didapat dari harta peninggalan ayahnya.
Ismail; ayah dari Bukhari ini tampaknya memang dari awal suka dan cenderung kepada Hadits Nabawi. Ketika pergi haji pada tahun 179 H, atau 15 tahun sebelum Bukhari lahir, beliau menyempatkan diri menemui tokoh-tokoh ahli hadis seperti Imam Malik Bin Annas (w. 179 H), Abdullah Bin Al -Mubarak (w. 181 H), Abu Mu'awiyah Bin shalih, dan lain-lain.
Muhammad bin Ismail al-Bukhari berkata:
“Bukhari berkata: (Bapakku) mendengar (hadits) dari Malik bin Anas (w. 179 H), melihat Hammad Bin Zaid (w. 179 H) dan bermushafahah dengan Ibnu al-Mubarak (w. 181 H) dengan kedua tangannya. Semangat ini kemudian diwariskan kepada putranya, Muhammad.
Baca Juga : Ketulusan dalam Pelayanan: Pelajaran Berharga dari Imam Junaid al-Baghdadi
Tidak berselang lama Ismail wafat ketika Muhammad masih kanak-kanak. Sebuah perpustakaan pribadi ditinggalkannya untuk Muhammad di samping semangat untuk mengaji hadis. Dalam keadaan yatim, Muhammad lalu diasuh oleh ibundanya dengan kasih sayang. Dibimbingnya untuk menyintai buku-buku peninggalan ayahnya. Bersama-sama kawan sebayanya Muhammad belajar membaca, menulis, Al-Quran dan Hadis.
Muhammad bin Ismail ketika kecil mengalami rasa sakit yang teramat di kedua matanya, hingga akhirnya mengalami kebutaan.
Keadaan tersebut terus beliau alami hingga suatu ketika Allah mengembalikan penglihatannya berkat usaha yang ditekuni oleh ibunya. Allah benar-benar memberikan kesembuhan kepada Muhammad bin Ismail. Allahu Akbar.
Pada usia 16 tahun, Beliau telah menghafal banyak kitab ulama terkenal, seperti Ibn Al-Mubarak, Waki’, dan sebagainya. Ia tidak berhenti pada menghafal hadis dan kitab ulama awal, tapi juga mempelajari biografi seluruh periwayat yang ambil bagian dalam periwayatan suatu hadis, tanggal kelahiran dan wafat mereka, tempat lahir mereka dan sebagainya.
Lalu pada usia 16 tahun, atau tahun 210 H beliau pergi ke Mekkah bersama Ibu dan kakaknya; Ahmad untuk menunaikan haji. Beliau tetap tinggal di sana untuk menuntut ilmu, sedangkan Ibu dan saudaranya kembali ke kampung halaman.
Di sinilah Muhammad bin Ismail mendalami hadis dari tokoh-tokoh ahli hadis seperti Al-Walid al-Azraqi dan Ismail bin Salim Sayegh, dll.
Pada usia 18 tahun, beliau mulai menuliskan kitab Qadlaya al-Sahabah wa al-Tabi’in. Kemudian Muhammad bin Isamil ini pergi ke Madinah untuk mempelajari hadis dari para ulama disana.
Di Madinah, beliau menulis kitab At-Tarikh al-Kabir; kitab tentang biografi para perawi hadits di samping Kuburan Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم .Hampirhampir beliau menuliskan cerita tersendiri di setiap biografi ulama yang beliau tulis, tapi khawatir terlalu banyak maka tak jadi beliau tulis.
Baca Juga : Imam Nawawi: Perjalanan Kehidupan Seorang Ulama
Beliau menulis biografi lebih dari 1.000an ulama dalam bukunya at-Tarikh tersebut. Beliau juga shalat 2 rakaat setiap menulis satu biografi ulama. Beliau belajar di Makkah dan Madinah, atau terkenal dengan nama Hijaz selama 6 tahun, yaitu dari tahun 210 H – 216 H.
Fase berikutnya, Muhammad bin Ismail menjelajahi negeri-negeri lain, disamping sering mondar-mandir ke beberapa kota untuk menemui guru-guru hadis. Maka tersebutlah nama beberapa kota tempat Muhammad bin Ismail berguru mencari hadis, antara lain; Makkah, Madinah, Syam, Baghdad, Wasit, Basrah, Bukhara, Kufah, Mesir, Harah, Naisapur, Qarasibah, ‘Asqalan, Himsh, dan Khurasan.
Beliau merantau ke negeri Syam, Mesir Jazirah sampai 2 kali, ke Basrah 5 kali, ke Hijaz bermuqim 6 tahun dan pergi ke Baghdad bersama-sama para ahli hadis yang lain sampai 8 kali.
Menurut pengakuannya, kitab hadis yang ditulisnya membutuhkan jumlah guru tidak kurang dari 1.080 orang guru hadis.
Bukhari diakui memiliki daya hapal tinggi, yang diakui oleh kakaknya Rasyid bin Ismail. Kakak sang Imam ini menuturkan, pernah Bukhari muda dan beberapa murid lainnya mengikuti kuliah dan ceramah cendekiawan Balkh.
Tidak seperti murid lainnya, Bukhari tidak pernah membuat catatan belajar. Ia sering dicela membuang waktu karena tidak mencatat, namun Bukhari diam tak menjawab. Suatu hari, karena merasa kesal terhadap celaan itu, Bukhari meminta kawan-kawannya membawa catatan mereka, kemudian beliau membacakan secara tepat apa yang pernah disampaikan selama dalam kuliah dan ceramah tersebut.
Tercenganglah mereka semua, lantaran Bukhari ternyata hafal di luar kepala 15.000 hadits, lengkap dengan keterangan yang tidak sempat mereka catat.
Imam Bukhari pernah berkata: “Saya tidak akan meriwatkan hadis yang ku terima dari sahabat dan tabi’in, sebelum aku mengetahui tanggal kelahiran, hari wafatnya dan tempat tinggalnya. Aku juga tidak akan meriyatkan hadis mauquf dari sahabat dan tabi’in, kecuali ada dasarnya yang kuketahui dari kitabullah dan sunnah Rasulullah.
Al-Allamah Al-Aini Al-Hanafi berkata, “Imam AlBukhari adalah seorang yang hafizh, cerdas, cerdik dan cermat. Ia memiliki kemampuan menjelaskan dengan jeli, kemampuan mengingatnya sudah masyhur dan disaksikan para ulama yang Tsiqah”.
Baca Juga : Imam Ghazali: Figur Cendekiawan Besar dalam Sejarah Islam
Setelah pengembaraannya mencari ilmu, meriwayatkan hadits, menulis kitab-kitab, akhirnya Beliau di usia 56 atau tepatnya tahun 250 H, mulai menetap di Naisabur. Beliau mengajarkan ilmu yang telah diperoleh kepada penduduk Naisabur saat itu. Beliau menetap di Naisabur selama 5 tahun, sebelum akhirnya mendapatkan ujian, yaitu dikeluarkan dari Naisabur karena suatu tuduhan tak berdasar.
Masih panjang kisah, sejarah Imam Bukhari yang harus disampaikan kepada umat Islam. Insya Allah akan dilanjutkan pada artikel berikutnya.
Wallahua’lam Bisshawab.