Batemuritour.com - Sejak dimulai dari pemilihan bibit bagi sang calon Ibu dan pemilihan bagi sang calon ayah, sejak semula, semua pasangan sudah ada niat mencari dan menyiapkan bibit yang unggul, sehat, baik dan shalih. Ketika semua orang telah memiliki pasangan dan dikaruniai calon bayi, benih itu dipupuk, dijaga, diberi makan yang teratur. Diajarkan mengaji sejak dalam kandungan dengan suara merdu sang ibu setiap saat, juga makanan jasmani dan ruhaninya melalui sikap dan tingkah laku orangtua (ortu).
Ia harus diberi makanan pencerdas otak sejak awal kandungan, akhlaq mulia dengan prilaku sang Ibu. Dilarang membiasakan kata-kata kotor penuh nada ejekan atau hinaan dari sang ibu dimulai dari anak dalam kandungan, agar sang anak kelak tak terbiasa mendengarkannya. Para ibu, juga dilarang ada hati yang sombong, angkuh, kikir, karena jiwa sang Ibu berpengaruh pada sang bayi ketika ia hamil.
Baca juga : Bagaimana Mendidik Buah Hati
Para ibu, juga diperintahkan sebaik mungkin menghindari penyakit-penyakit hati, namun melakukan kebaikan hati, karena getaran dada dirasakan sang bayi
Semua ajaran di atas telah tercantum dalam firman Allah. Termasuk dalam Q.S Al-Baqarah, Luqman Al Hujuraat, dan surah lain-lainnya. Setelah ia lahir disusukan dengan ASI yang murni sampai berumur 2 tahun penuh (sebagaimana ajaran Islam).
Ketika anak berumur 7 tahun, Islam memerintahkan untuknya shalat. Jika telah berumur 10 tahun, ia bahkan boleh dipukul, tapi pukulan penuh didikan bukan menyakiti. Ketika anak sudah mulai bisa membedakan yang baik dan yang buru, maka Islam meminta agar anak diajarkan berenang, memanah, naik kuda, dll. Anak juga harus diajarkan mengenal Allah Ta’ala, Nabinya, serta agamanya.
Anak Ibarat Pohon
Kenapa sejak kecil anak diajarkan shalat dan tahu agamanya? Ini adalah pendidikan ruhaninya kelak agar dewasa dia bisa mandiri, tahu apa yang harus dilakukannya saat menghadapi segala macam permasalahan. Kenapa sejak kecil anak juga harus diajarkan memanah, berenang, naik kuda dan sebagainya dari olahraga? Lihatlah bagaimana sikap seorang pemanah dari sisi saat ia memanah dengan tepat, lihatlah orang yang berenang dalam menjaga keseimbangan tubuhnya, saat orang naik kuda mengendalikan kuda yang larinya kencang sekalipun. Jadi bukan dari sisi permainan itu saja diambil hikmahnya, tetapi substansi hikmah di belakang dari semua itu.
Baca juga : Pentingnya Pendidikan Anak Menurut Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ihya Ulumiddin
Mendidik anak yang sudah besar, itu sama saja kita mencoba meluruskan pohon bengkok sejak semula. Karenanya, akan sangat sulit sekali lurusnya. Kalau diluruskan dengan paksaan ia akan patah. Karena itu selagi dia masih kecil, dan masih bisa dibentuk, maka bentuklah sedari dini hari, jangan sampai siang hari, nanti kesiangan, apalagi senja hari, nanti rabun senja. Lebih parah kalau dibentuk sudah malam hari, mata udah rabun, gelap, pandangan dan samar-samar.
Orangtua kalau sudah dibentuk ketika tuanya tentu akan sulit, karena pandangan di malam hari juga sudah pada gelap. Orang siap-siap mau tidur, waktu malam hari hanyalah banyak berdo’a dan beribadah saja. Seperti begitulah orangtua, seharusnya masa-masanya sudah dekat ke kubur siap-siap menghadapi maut. Jangankan yang sudah tua, masih muda saja kita selalu siap-siap ke kubur, itu sebabnya pohon itupun disirami sejak dari dalam tanah, sejak dari bibitnya. Kalau pohon sudah rindang, sudah tua, sudah tinggi yang diharapkan hanyalah siraman hujan dari langit, dan hidayah dari Allah ta’a’la.
Siklus kehidupan, rotasi alam, akan seperti itu ke itu saja adanya. Sunnatullah, dari bibit, menjadi benih, tunas kecil, pohon remaja dan lagi ranum-ranumnya, dan akhirnya berbuah. Tatkala dia berbuah, dia menghasilkan biji, benih yang baru untuk penerus kehidupannya. Kehidupannya tadi digantikan lagi oleh benih yang baru, begitulah seterusnya. Lantas, dilihat dari perputaran siklus kehidupan tanaman tadi, apakah tidak terpikir oleh kita, bagaimana sebenarnya hakikat jati diri kita? Buat apa kita hidup, dari mana asal kita hidup, untuk apa kita hidup, pada akhirnya ke mana jalan akhir hidup kita?
Baca juga : Mendidik Anak dalam Islam: Dua Hal Utama yang Harus Diajarkan oleh Orang Tua
Bibit, benih yang kita tanam tadi, setelah sekian tahun baru kita memetik hasilnya. Saat kita petikpun tak begitu lama, datang masa akhir hayat kita. Lantas, sudah siapkah diri kita menghadapi kehidupan nan abadi dan kekal di akhirat nanti? Waktu yang diberikan buat bekal itu hanyalah sedikit sekali, sementara yang akan kita capai dan akan kita jalani kelaknya adalah sangat terlalu panjang, apakah tidak terfikir oleh kita untuk mempersiapkan segala sesuatunya buat diri kita sendiri dalam menghadap illahi ?
Sudahkah kita menghitung amalan dan dosa-dosa kita? Masa akhirat, hari pembalasan masa kiamat adalah masa-masa sang anak lupa pada ibunya, ibu sendiri lupa pada janin yang ada dalam kandungannya, semua lupa pada siapa, yang difikirkannya hanyalah kondisi nasib dirinya sendiri. Masa itu tak ada naungan dan pertolongan selain naungan dan pertolongan Allah Ta’ala semata. Namun kenapa di saat-saat kita sadar diri, masih muda, masih kaya, masih memiliki akal sehat, masih punya banyak waktu, kita jarang berinteraksi dan memohon hanya padaNya?
Tetapi kita memohon pada selainNya dalam bentuk apapun itu, kita sadari ataupun tak kita sadari. Termasuk kesalahan-kesalahan kita dalam mendidik anak. Lantas, apakah tidak ada rasa malu dalam diri kita, di saat kita nanti berada dalam kondisi serba sulit di hari akhirat, kita baru datang kepada Allah Ta’ala untuk meminta perlindungan?
Bagaimana perasaan kita, andaikan ada teman, saudara, istri, suami, anak atau siapa saja, di saat dia senang, bahagia dia lupa sama kita, dia malah ingat sama yang lainnya. Tidak tahunya di saat-saat dia berada dalam kesulitan dia datang ke kita, mengadu pada kita. Allah juga maha pencemburu. Sungguh tak masuk diakal yang waras dan cerdas, apabila kita datang ke Allah di saat-saat kita berada dalam kesulitan. Semata, saat sehat, saat bahagia, saat kaya kita tak ingat padaNya. Lupa ibadah, lupa berinfaq, lupa memberi padaNya, lupa mengingatNya.
Manusia saja tidak bisa dibegitukan, apatah lagi Allah yang maha kuasa, maha pencemburu.
Baca juga : 6 Hak yang Harus Didapat Anak dalam Islam
Mari sama-sama kita merenungkan semua ini. Semua bermula dari benih, bibit, anak, karena itu pantaslah anak kita katakan anugerah. Karena dari perkembangan bibit, benih, anaklah, kita dapat mengambil hikmah besar dari kehidupan ini, untuk mencapai tujuan akhir hidup kita, yakni RidhaNya semata, tak lebih dari itu. Dan sesungguhnya, Allah telah memperlihatkan pada kita semua semua ilmunya. ALlah bahkan memilima melihat dengan “Mata Hati”, bukan “Mata Telanjang”. Sayangnya, kita sering alpa dalam masalah ini.
“dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?.” [QS.Adz Zaariyah: 21]
Semoga, kita semua mampu menjadi orangtua yang peka, yang bisa melihat dengan “Mata Hati”.
Wallahu'alam