Batemuritour.com- Nahdlatul Ulama (NU), sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, memiliki pandangan yang moderat dan inklusif terhadap berbagai isu keagamaan, termasuk bid'ah. Sikap NU terhadap bid'ah sering kali diartikan dalam konteks pemahaman mereka tentang tradisi dan inovasi dalam praktik keagamaan.
Pembagian Bid'ah: NU mengklasifikasikan bid'ah menjadi dua kategori utama: bid'ah hasanah (bid'ah yang baik) dan bid'ah sayyi'ah (bid'ah yang buruk). Bid'ah hasanah adalah inovasi yang membawa manfaat dan tidak bertentangan dengan prinsip dasar Islam, seperti perayaan Maulid Nabi. Sebaliknya, bid'ah sayyi'ah adalah inovasi yang menyesatkan dan bertentangan dengan ajaran Islam.
Landasan Hukum: NU sering merujuk kepada konsep ushul fiqh (prinsip-prinsip hukum Islam) dan kaidah-kaidah yang digunakan oleh ulama klasik, seperti Imam al-Shafi'i dan Imam al-Ghazali, dalam menentukan status hukum suatu praktik baru. Mereka mempertimbangkan manfaat (maslahah) dan kerugian (mafsadah) dari praktik tersebut.
Baca Juga : Pentingnya mempelajari ilmu Fiqih !
Konteks Lokal dan Tradisi: NU menghargai tradisi lokal dan berusaha mengakomodasi praktik-praktik keagamaan yang sudah lama berkembang di masyarakat selama praktik tersebut tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Ini sejalan dengan prinsip mereka yang sering disebut sebagai “al-muhafazhah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah” (memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik).
Pendekatan Moderat: Sikap moderat NU menekankan pentingnya toleransi dan dialog dalam menyikapi perbedaan pendapat tentang bid'ah. Mereka menghindari sikap takfiri (menganggap orang lain kafir) dan lebih mengedepankan diskusi serta pemahaman yang mendalam.
Contoh Konkret: Praktik-praktik seperti tahlilan (doa bersama setelah seseorang meninggal dunia), yasinan (pembacaan Surat Yasin bersama-sama), dan maulidan (peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW) adalah contoh-contoh bid'ah hasanah menurut pandangan NU. Praktik-praktik ini dianggap memperkuat ukhuwah (persaudaraan) dan mengingatkan umat kepada nilai-nilai spiritual.
1. Bid'ah hasanah (bid'ah yang baik)
adalah inovasi dalam praktik keagamaan yang tidak bertentangan dengan prinsip dasar Islam dan membawa manfaat bagi umat. Nahdlatul Ulama (NU) mengakui beberapa contoh bid'ah hasanah yang telah diterima dan dipraktikkan oleh banyak umat Islam, khususnya di Indonesia. Berikut adalah beberapa contohnya:
Baca Juga : Peran Penting Imam Mujtahid dalam Keanekaragaman Fiqih Islam
Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW: Maulid Nabi adalah perayaan kelahiran Nabi Muhammad SAW yang diadakan dengan berbagai kegiatan seperti pembacaan shalawat, ceramah, dan doa bersama. Meskipun perayaan ini tidak ada pada masa Nabi, namun dianggap sebagai bid'ah hasanah karena bertujuan mengingat dan memuliakan Rasulullah SAW serta memperkuat kecintaan umat terhadapnya.
Tahlilan: Tahlilan adalah tradisi doa bersama yang diadakan untuk mendoakan orang yang telah meninggal dunia, biasanya berlangsung selama tujuh hari setelah kematian dan dilanjutkan pada hari ke-40, 100, dan setahun setelahnya. Praktik ini dianggap sebagai bid'ah hasanah karena membantu keluarga yang ditinggalkan dengan doa dan dukungan moral dari komunitas.
Yasinan: Yasinan adalah kegiatan membaca Surat Yasin secara bersama-sama, sering kali dilakukan pada malam Jumat atau dalam rangkaian acara keagamaan lainnya. Kegiatan ini dianggap bid'ah hasanah karena mendekatkan umat pada Al-Qur'an dan memperkuat kebersamaan dalam ibadah.
Shalawatan: Shalawatan adalah kegiatan membaca atau menyanyikan shalawat untuk Nabi Muhammad SAW dalam bentuk berbagai jenis pujian dan doa. Praktik ini sangat populer di kalangan masyarakat NU dan dianggap sebagai bid'ah hasanah karena memperbanyak shalawat merupakan sunnah dan meningkatkan kecintaan kepada Rasulullah SAW.
Peringatan Isra Mi'raj: Peringatan Isra Mi'raj adalah perayaan memperingati perjalanan malam Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa dan kemudian naik ke langit. Acara ini biasanya diisi dengan ceramah, pembacaan Al-Qur'an, dan doa bersama. Meskipun perayaan ini tidak dilakukan oleh Nabi, namun dianggap sebagai bid'ah hasanah karena mengingatkan umat pada peristiwa penting dalam sejarah Islam.
Khataman Al-Qur'an: Tradisi mengadakan acara khataman Al-Qur'an secara bersama-sama, baik dalam acara keluarga, komunitas, maupun di pesantren. Kegiatan ini dianggap sebagai bid'ah hasanah karena mendorong umat untuk menyelesaikan bacaan Al-Qur'an dan memperkuat kebersamaan dalam beribadah.
Baca Juga : KH. Sholeh Darat, Guru Dari Pendiri Kedua Ormas NU & Muhammadiyah Asal Semarang
Praktik-praktik di atas adalah contoh-contoh bid'ah hasanah yang diterima dan dipraktikkan oleh banyak umat Islam, khususnya di kalangan Nahdlatul Ulama. Praktik ini memperkuat nilai-nilai spiritual, kebersamaan, dan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW serta ajaran Islam. Bid'ah hasanah diakui karena memberikan manfaat positif tanpa bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam.
2. Bid'ah sayyi'ah (bid'ah yang buruk)
adalah inovasi dalam praktik keagamaan yang bertentangan dengan prinsip dasar Islam, membawa kemudharatan, atau menyimpang dari ajaran dan sunnah Nabi Muhammad SAW. Nahdlatul Ulama (NU) dan ulama Islam lainnya menganggap bid'ah sayyi'ah sebagai sesuatu yang harus dihindari karena dapat merusak kemurnian agama dan menyesatkan umat. Berikut adalah beberapa contoh bid'ah sayyi'ah:
Mengubah Tata Cara Ibadah Wajib: Misalnya, mengubah tata cara shalat yang telah ditentukan oleh Nabi Muhammad SAW. Contoh konkret adalah menambahkan rakaat shalat wajib tanpa dasar syariah atau mengganti gerakan-gerakan dalam shalat.
Mengadakan Upacara atau Ritual yang Tidak Ada Dasarnya dalam Islam: Beberapa kelompok mungkin mengadakan ritual-ritual tertentu yang tidak memiliki dasar dalam ajaran Islam, seperti ritual penyembahan kepada makam atau benda-benda tertentu. Contohnya adalah meyakini bahwa dengan memberikan persembahan ke makam tertentu akan membawa keberuntungan.
Baca Juga : Pemikiran para Ulama tentang Pembaruan Hukum Islam
Praktik Syirik (Menyekutukan Allah): Segala bentuk praktik yang menyekutukan Allah dianggap sebagai bid'ah sayyi'ah. Misalnya, mempercayai bahwa benda tertentu memiliki kekuatan gaib yang bisa mendatangkan manfaat atau menolak bahaya secara independen dari kehendak Allah.
Inovasi dalam Aqidah (Keimanan): Memperkenalkan konsep-konsep baru yang menyimpang dari aqidah Islam yang murni, seperti meyakini adanya nabi setelah Nabi Muhammad SAW atau mengakui adanya kitab suci selain Al-Qur'an yang harus diimani oleh umat Islam.
Mengubah Hukum-Hukum Syariah: Contohnya adalah merubah hukum-hukum yang sudah jelas dalam Al-Qur'an dan Hadis seperti hukum waris, zakat, atau hukum hudud (pidana dalam Islam) tanpa dasar yang sah. Menganggap halal sesuatu yang haram atau sebaliknya tanpa dalil yang kuat juga termasuk bid'ah sayyi'ah.
Menciptakan Ritual Asing dalam Ibadah: Misalnya, menambahkan doa-doa atau ritual tertentu dalam ibadah haji yang tidak diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW atau menyisipkan ritual-ritual asing dalam rangkaian ibadah wajib atau sunnah yang telah ada.
Bid'ah sayyi'ah adalah praktik-praktik yang tidak sesuai dengan ajaran Islam yang murni dan berpotensi menyesatkan umat. NU dan ulama lainnya menekankan pentingnya kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah dalam menjalankan ibadah dan keimanan sehari-hari. Menghindari bid'ah sayyi'ah adalah salah satu cara menjaga kemurnian dan keaslian ajaran Islam.
Baca Juga : Ijtima Ulama Menjadi Tradisi Keberislaman di Indonesia dalam Penyelesaian Masalah
Secara keseluruhan, Nahdlatul Ulama mengadopsi pendekatan yang seimbang dan inklusif terhadap bid'ah, dengan menekankan pentingnya mempertahankan tradisi yang baik sambil tetap terbuka terhadap inovasi yang bermanfaat. Sikap ini mencerminkan filosofi dasar mereka yang menghargai keberagaman praktik keagamaan di kalangan umat Islam Indonesia.