Batemuritour.com - Dalam kitab Al Bidayah Wa An Nihayah , Ibnu Katsir menuturkan kisah seorang sahabat Nabi Saw; Zaid bin ad-Datsinah yang menjadi tawanan dan terancam dibunuh. Saat itu, sang pembesar kaum kafir Quraisy; Abu Sufyan bin Harb berkata; “Ya Zaid, maukah posisi kamu sekarang digantikan oleh Muhammad yang akan kami penggal lehernya, kemudian engkau dibebaskan kembali pada keluargamu?” Dengan yakin, Zaid menjawab; “Demi Allah, aku tidak akan rela jika saat ini Muhammad berada di rumahnya tertusuk sebuah duri, dalam keadaan aku berada di rumah bersama keluargaku”. Abu Sufyan pun berkata, “Tidak pernah aku mendapatkan seseorang yang mencintai orang lain seperti cintanya para sahabat Muhammad kepada Muhammad!”
Baca juga : Tak Boleh Sembarangan, Ini Lafal Titip Salam untuk Rasulullah yang Benar
Catatan sejarah itu hanyalah salah satu bukti kedudukan agung Muhammad Saw dan ketulusan cinta yang ditunjukkan oleh sahabat-sahabatnya. Kedekatan hubungan para sahabat dengan nabinya menempatkan cinta mereka kepada beliau jauh lebih besar dan lebih dalam dibandingkan kecintaan orang-orang yang datang sesudah mereka.
Keragaman Cara Mencintai Rasulullah
Sebagaimana hari ini, sebagian kaum muslim telah menunjukkan berbagai apresiasi cinta mereka terhadap sang junjungan rasul tercinta. Kecintaan kepada Rasulullah sesungguhnya bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja :
Baca juga : Pesan Menyentuh Rasulullah kepada Umatnya tatkala Haji Wada
Bid’ah dan Spiritualisme Modern
Di sisi lain, maraknya aktifitas keagamaan yang dilambangkan sebagai bentuk cinta Rasulullah, dipandang skeptis oleh sebagian umat Islam. Secara garis besar ada dua alasan utama yang melatari pandangan tersebut;
Perdebatan Agama yang Tidak Produktif
Dalam konteks keindonesiaan, fenomena spiritualisme sebagai salah satu bukti kecintaan terhadap Rasulullah, seyogianya dilihat dengan pendekatan lain yang jauh lebih toleran dan akomodatif. Perayaan Maulid Nabi Saw, misalnya, pada mulanya diperingati untuk membangkitkan semangat umat Islam. Saat itu, umat Islam berjuang keras mempertahankan diri dari serangan tentara Salib Eropa, yakni Prancis, Jerman, dan Inggris. Adalah Salahuddin al-Ayyubi yang yang mengeluarkan instruksi bahwa mulai tahun 580 Hijriah (1184 M) tanggal 12 Rabiul-Awal dirayakan sebagai hari Maulid Nabi dengan berbagai kegiatan yang membangkitkan semangat umat Islam. Salahuddin ditentang oleh para ulama. Sebab sejak zaman Nabi, peringatan seperti itu tidak pernah ada. Akan tetapi Salahuddin kemudian menegaskan bahwa perayaan Maulid Nabi hanyalah kegiatan yang menyemarakkan syiar agama, bukan perayaan yang bersifat ritual, sehingga tidak dapat dikategorikan bid`ah yang terlarang.
Salah satu kegiatan yang diadakan oleh Sultan Salahuddin pada peringatan Maulid Nabi yang pertama kali tahun 1184 (580 H) adalah menyelenggarakan sayembara penulisan riwayat Nabi beserta puji-pujian bagi Nabi dengan bahasa yang seindah mungkin. Seluruh ulama dan sastrawan diundang untuk mengikuti kompetisi tersebut. Pemenang yang menjadi juara pertama adalah Syaikh Ja`far Al-Barzanji. Karyanya yang dikenal sebagai Kitab Barzanji sampai sekarang sering dibaca masyarakat di kampung-kampung pada peringatan Maulid Nabi. Ternyata, peringatan Maulid Nabi yang diselenggarakan Salahuddin itu membuahkan hasil yang positif.
Semangat umat Islam menghadapi Perang Salib bergelora kembali, sehingga pada tahun 1187 (583 H) Yerusalem direbut oleh Salahuddin dari tangan bangsa Eropa.
Semangat kebangkitan Islam dan pencerahan ummat inilah yang dapat dijadikan inspirasi para pegiat dakwah untuk membuat inovasi-inovasi baru dalam berdakwah. Karena itu, tidaklah arif menyalahkan majelis zikir dan tasawuf yang tengah digandrungi sebagian umat Islam. Para sahabat Nabi juga melakukan zikir bersama sesudah shalat subuh. Riwayat Ibnu Abbas atau Salman Al-Farisi menyebutkan bahwa para sahabat berhimpun bersama, duduk bersama. Bahkan, Rasulullah Saw memerintahkan kita untuk hadir di majelis zikir, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. ”Bila kalian melewati tamu surga, hendaklah kalian mampir.” Ketika sahabat bertanya, ”Apa itu tamu surga”, beliau menjawab, ”Halaqah zikir atau majelis-majelis zikir.”
Bagaimanapun, membiarkan perdebatan tentang keragaman spritualisme ummat adalah sesuatu yang tidak produktif dan lebih banyak melemahkan kekuatan ummat. Karena kita masih harus dihadapkan dengan persoalan pemahaman dan penghayatan keagamaan ummat yang bersemangat dalam aktifitas spiritual tetapi tidak mampu berbuat banyak dalam penyelesaian masalah-masalah ummat; kebodohan, kemiskinan dan pengangguran. Lebih dari itu, seringkali, spiritualisme itu rentan ‘ditunggangi’ oleh hawa nafsu. Dan, salah satu hawa nafsu yang sukar terdeteksi adalah, seperti apa yang disebut Erich Fromm, keterikatan manusia pada situasi sesaat yang berada di sekelilingnya. Dalam bahasa Nasruddin, sufi dari Khurasan, manusia sering terjebak pada ‘pakaiannya’, termasuk terjebak dengan pemahaman agama yang keliru dan tidak membumi. Pakaian adalah sesuatu yang binding (mengikat) dalam jiwa manusia. Jika manusia melakukan sikap yang binding dengan dunia sekelilingnya, jiwanya akan terkungkung dan kebebasannya terbelenggu. Binding dalam kaitan ini bisa saja merupakan cinta terhadap sesuatu yang sepantasnya tidak harus dicintai.
Cinta kepada harta, benda-benda antik, jabatan, kelompok, dan etnis (‘ashabiyyah), juga pandangan keagamaan kita yang tidak sadar membelenggu jiwa, sehingga mudah menyalahkan pandangan lain yang berbeda. Dalam salah satu hadisnya, Rasulullah menyatakan, ”Siapa yang mencintai sesuatu, maka dia akan menjadi hambanya.” Tetapi kita tidak perlu menjadi hamba untuk cinta yang tidak hakiki dan memilih ‘meninggalkan’ cinta Rasulullah. Padahal beliau telah berwasiat; “Demi Allah, salah seorang dari kalian tidak akan dianggap beriman hingga diriku lebih dia cintai dari pada orang tua, anaknya dan seluruh manusia.” Apa yang diperlukan ummat hari ini adalah patriotisme Zaid bin ad-Datsinah yang ditunjukkan dengan kerelaan kita untuk tulus mencintai Rasulullah Saw, tanpa harus melukai keharmonisan ukhuwwah sesama ummat Islam.