Batemuritour.com – Hai Sahabat Batemuri sering sering mendengar istilah pindah mazhab ? atau bermakmum kepada imam yang berbeda mazhab?
Apakah boleh dan sah, bagaimana penjelasan dan hukumnya?
sumber gambar: freepik.com
Sebelum membahas lebih lanjut perlu kita pahami beberapa istilah berikut ini :
1. Taklid
Kata taklid merupakan bentuk masdar dari qallada - yuqallidu taqlidan, bermakna mengikuti atau melakukan sesuatu tanpa disertai dengan argumen (hujjah).
Dalam terminologi fukaha, taklid adalah sikap menerima pendapat pihak lain tanpa disertai argumen dan dalil-dalil.
Adapun menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Malik- dibagi menjadi tiga golongan, yaitu:
a. Golongan orang awam. Sikap taklid mereka kepada madzhab- madzhab yang ada di ibaratkan seperti taklidnya seorang mayat.
b. Golongan orang-orang yang sampai pada tingkatan mujtahid. Secara prinsip, seorang mujtahid tidak boleh mengikuti mujtahid yang lain.
Harus mandiri dalam menentukan hukum. Mereka yang ada pada tingkatan ini,
kemudian dinisbahkan pendapatnya kepada madzhab Imam Syafii -misalnya karena mereka mengikuti metodologi ijtihad yang dipakai oleh Imam Syafii berikut dengan dalil-dalil yang memperkuat hasil ijtihadnya.
Baca juga :
c. Golongan yang tidak sampai pada tingkatan mujtahid dalam penentuan pokok-pokok hukum (mutawasithun).
Dalam persoalan hukum, mereka mengikuti pokok-pokok penentuan hukum (Ushul fikih) para ulama yang telah sampai pada tingkatan mujtahid.
Di samping itu, mereka juga mengkiyaskan persoalan-persoalan yang belum mendapatkan legitimasi syara - terhadap persoalan lain yang telah dilegitimasi syara atas dasar kesamaan illat.
Jadi mereka bisa disebut muqallid terhadap mujtahid.
Seseorang tentunya tidak boleh ber-taklid kepada orang awam. Sebab mereka juga bertaklid kepada orang lain.
Orang awam tidak mempunyai madzhab. Dengan kata lain, madzhabnya adalah muftinya. Jadi siapapun yang memberikan fatwa, itulah madzhab yang diikutinya.
Dalam Kitab Syarh al-Tahrir dijelaskan bahwa seseorang dikatakan bermadzhab ketika la mempunyai pandangan dan analisa atas madzhab tertentu dan membaca kitab-kitab yang ada serta mengetahui fatwa-fatwa imamnya berikut dengan pendapat pendapatnya.
2. Talfiq
Talfiq mempunyai akar kata lafaqa – yalfiqu – lafqan, yang bermakna mengumpulkan dua hal atau lebih menjadi satu, seperti mengumpulkan (menjahit) dua lapis kain menjadi satu.
Secara terminologi, talfiq adalah mengikuti madzhab tertentu dalam suatu bagian dan mengambil fatwa dari madzhab lain pada bagian yang lain.
Hal prinsip yang harus diingat, bahwa ‘perpindahan’ madzhab ini karena seseorang melihat ada kesahihan sebuah hukum pada madzhab kedua, misalnya wudlu dengan air musta’mal.
Dalam masalah ini, hanya madzhab Malik saja yang memperbolehkan dipakainya air musta’mal untuk berwudlu.
Jika pengikut madzhab Syafii dan Hanafi memakai air musta’mal karena mengikuti fatwa madzhab Maliki – dalam wudlunya, maka shalat dengan wudlu tersebut hukumnya sah.
Syeikh Muhamad al-Khadr Husein, Syeikh al-Azhar (alm.), telah banyak membincang tentang kebolehan mengikuti madzhab-madzhab secara variatif.
Beliau menamakannya sebagai perpindahan madzhab atau talfiq madzhab. Dengan kata lain, seseorang boleh mengikuti pendapat dari madzhab selain madzhab yang diikuti sebelumnya dalam penentuan hukum sebuah persoalan.
Letak kesahihan makmum pada Imam yang berbeda mazhab?
Secara umum, mazhab Maliki, Hambali, Abu Bakar Arrazi dari mazhab Hanafi, dan Abu Bakar al-Qofal dari mazhab Syafii
membolehkan seseorang untuk makmum pada imam bermazhab lain dalam masalah furu.
Kenapa? Semula, seorang muslim boleh-boleh saja makmum kepada imam mazhab yang lain selama masih dalam koridor yang diperbolehkan syara’.
Jika tidak sepakat dengan pendapat tersebut, ia harus mengemukakan dalil untuk memperkuat argumennya. Kami belum pernah melihat argumen dari mereka,
kecuali hanya keyakinan ma’mum bahwa imamnya melakukan kesalahan dalam prespektif mazhab ma’mum.
Alasan ini tidak bisa dijadikan sebagai landasan dalil. Karena ma’mum pun meyakini bahwa segala produk hukum yang dihasilkan para mujtahid adalah benar di mata Allah Swt.
Karena setiap mujtahid diwajibkan mengamalkan hasil ijtihadnya. Jadi, mengikuti mazhab -apapun itu berarti mengikuti kebenaran.
Kalau kita mengikuti kebenaran, terus apa yang menyebabkan seorang makmum tidak boleh makmum pada imam shalat yang berbeda pendapat dalam syarat dan rukunnya?
Para salafussaleh, baik dari sahabat, tabiin atau para mujtahid berbeda pendapat dalam masalah furu.
Tapi tak pernah sekali pun ada cerita bahwa mereka tidak mau bermakmum pada imam shalat yang berbeda dalam hasil ijtihadnya.
Hukum Pengikut Madzhab Syafii dan Hanafi pindah kepada madzhab Maliki atau Sebaliknya
Bagi pengikut madzhab tertentu diperbolehkan untuk pindah ke madzhab lain selama tidak ada maksud untuk main-main.
Dengan kata lain, perpindahan dari madzhab satu kepada yang lain semata-mata untuk kepentingan ibadah.
Hal ini sudah terjadi sejak zaman sahabat Mereka tidak melarang seseorang untuk mengikuti madzhab tertentu pada satu masalah, dan mengikuti madzhab lain pada masalah yang lain.
Yang penting dia tahu betul pendapat madzhab barunya. Misalnya, hanya madzhab Maliki yang membolehkan seseorang untuk berwudlu dengan air musta'mal.
Ketika pengikut madzhab Syafii dan Hanafi berwudlu dengan cara madzhab Maliki, maka shalatnya dihukumi sah.
Baca juga :
Berhati - hatilah Dalam Shalat!!!! Berikut 12 Perkara yang Membatalkan Shalat
Lebih lanjut, ulama ushul menyatakan bahwa ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam pindah madzhab ini.
Syarat terpenting adalah perpindahan tersebut tidak menghasilkan suatu bentuk hukum yang sudah menjadi konsensus ulama sebagai hal yang dibatalkan syara', misalnya menikah tanpa mahar, wali, atau tanpa saksi dan sebagainya. Tidak satupun ulama membolehkan nikah dengan cara ini.
Ketentuan hukum di atas telah jelas dengan catatan bahwa ia belum mempraktekan ibadah tersebut sesuai dengan ketentuan madzhab imamnya sebelum berpindah ke madzhab yang lain.
Jika memang ia sudah mempraktekannya sesuai dengan ketentuan dalam mazhab imamnya, menurut Ibnu Hajib dan Saifuddin al-Amidy, hukumnya, sesuai kesepakatan ulama, tidak boleh.
Namun, Abu Abdullah al- Zarkasyi dalam al-Bahru al-Muhit-nya menentang pendapat Adanya konsensus tersebut.
Menurutnya, perbedaan pendapat antara boleh dan tidaknya berpindah mazhab juga berlaku pada perpindahan madzhab paska ditunaikannya aktifitas ibadah sesuai dengan ketentuan madzhabnya.
Artinya sebagian ulama berpendapat bahwa boleh-boleh saja berpindah madzhab sekalipun ia sudah menunaikan aktifitas tertentu sesuai dengan ketentuan mazhab yang dia ikuti.!
Jika seseorang berpindah madzhab dengan tujuan main main sebagaimana yang sering terjadi pada konteks kekinian, maka hukumnya haram. Karena dalam ibadah, tidak boleh ada unsur main- main.
Dalam konteks kekinian, kadangkala kenyataan di lapangan sangat menyulitkan seseorang untuk tetap bertahan dalam ajaran madzhab yang diikuti.
Karenanya, ia boleh berpindah madzhab dalam suatu masalah, dengan syarat tidak unsur main-main dalam perpindahan ini Hal ini tidak masalah, sebagaimana yang pernah terjadi pada zaman sahabat dan mazhab empat. Ini merupakan keringanan yang diberikan kepada mukallaf dalam menunaikan ibadah.
Karena lebih baik mereka tetap konsis menjalankan ibadah, walau kadang berpindah-pindah madzhab dari pada tidak menjalankan agama sama sekali.
Apalagi dewasa ini tingkat kepatuhan pada agama makin berkurang.
Waallahu A'alam Bisshowab
Sekian pembahasan Batemuritour kali ini, bagi kalian yang ingin bertanya ataupun berkomentar terkait konten-konten Islami silahkan hubungi email kami di umrah.batemuri@gmail.com atau terus cek artikel kami di www.batemuritour.com