Selametan : Bentuk Sinkretisme Religiusitas dalam Masyarakat Jawa

By. Siti Rahmawati - 09 May 2023

Bagikan:
img

Batemuritour.com- Salah satu sifat dari masyarakat Jawa adalah bahwa mereka religius dan bertuhan.

Sebelum agama-agama besar datang ke Indonesia, khususnya Jawa, mereka sudah mempunyai kepercayaan adanya Tuhan yang melindungi dan mengayomi mereka.

Keberagamaan ini semakin berkualitas dengan masuknya agama-agama besar seperti Hindu, Budha, Islam, Katholik, dan Protestan ke Jawa.

 

 

 

Sumber gambar: kebumenkab.go.id

 

 

Namun, dengan pengamatan selintas dapat diketahui bahwa dalam keberagamaan rata-rata masyarakat Jawa adalah nominalis,

dalam arti bahwa mereka tidak bersungguh-sungguh dalam melaksanakan ajaran-ajaran agamanya.

 

 

 

Ada di antara mereka yang benar-benar serius dalam menjalankan ajaran-ajaran agamanya.

Ada juga yang berusaha untuk serius, tetapi karena hambatan-hambatan khusus, seperti ewuh dengan lingkungan yang tidak mendukung,

takut dikatakan sok semuci dan sebagainya, membuat mereka kikuk dalam mengekspresikan keagamaannya secara utuh.

 

 

 

Dalam hal ini bisa saja mereka mengaku sebagai orang muslim, yang untuk itu mereka bersedia dikhitan,

membaca syahadat ketika akan melaksanakan akad nikah, melakukan salat Idul Fitri, membaca surah Yasin dan tahlil ketika diundang slametan oleh tetangga dan kerabatnya,

menghadiri pengajian pada hari-hari besar Islam memberikan sumbangan untuk pembangunan masjid, dan sebagainya.

 

 

 

Namun, untuk benar-benar serius dan sungguh- sungguh dalam menjalankan syariat Islam, seperti salat lima waktu dengan berjamaah,

puasa sebulan penuh dalam bulan Ramadan, membayar zakat mal (zakat yang berkaitan dengan penghasilan yang mereka terima dan harta yang mereka miliki),

dan amalan- amalan agama lainnya yang relatif sulit dilakukan serta membutuhkan keseriusan, mereka enggan mengerjakannya.

 

 

 

Karena kurangnya keseriusan dalam memahami dan mengamalkan agamanya, berakibat kepada beberapa hal,

yang antara lain mudahnya mereka untuk tergiur dalam mengadopsi kepercayaan, ritual, dan tradisi dari agama lain, termasuk tradisi asli pra Hindu-Budha yang dianggap sesuai dengan alur pemikiran mereka.

 

 

Oleh karena itu, meskipun mengaku sebagai seorang muslim, mereka juga meletakkan kembang setaman dan sesaji lainnya di tempat-tempat khusus pada hari-hari tertentu,

mengadakan ruwatan untuk anak-anaknya yang perlu diruwat, melakukan laku khusus pada malam satu Suro, dan mengeramatkan keris serta benda-benda pusaka lainnya.

 

Baca juga :

 

 

Selain itu, ketika anaknya akan menghadapi ujian, ia melakukan tirakat berupa puasa mutih, ziarah dan nyepi di makam leluhurnya yang dulu dikenal mempunyai kekuatan lebih, serta laku-laku tirakat lainnya.

Hal ini mereka lakukan dalam rangka mencari kedamaian dan ketenangan dalam menghadapi ketegangan hidup.

 

 

Selanjutnya munculnya seribu satu problematika kehidupan yang menumpuk.

Dengan demikian, secara sadar atau tidak, mereka telah melakukan sinkretisasi antara ajaran Islam dengan ajaran-ajaran dari luar Islam (Budha, Hindu, dan kepercayaan asli).

 

 

Cara tradisional untuk bekerja. Khas orang Jawa untuk pekerjaan (gawe) juga berarti pesta.

Diperkirakan bahwa pada jaman dulu bagi orang Jawa terdapat hubungan erat antara dan ibadat.

 

 

Pekerjaan, pesta ritual religius yang dilakukan oleh masyarakat Jawa adalah slametan, sebab slametan dilaksanakan hampir pada semua peristiwa penting dalam hidup,

yaitu pada waktu kehamilan, kelahiran, supitan, perkawinan, kematian, menanam padi, panen, bahkan sampai dengan peristiwa naik pangkat. Pendek kata, pada setiap kesempatan.

 

 

Slametan terdiri dari sekedar makan bersama dengan mengundang para tetangga, umumnya laki-laki, dengan doa oleh modin.

Hadir menyantap nasi tumpeng, dan sisanya dibawa pulang untuk diberkat (nasi yang mengandung barakah).

Ternyata menurut pandangan dunia Jawa slametan itu untuk merekatkan kerukunan, keselarasan, untuk mewujudkan ketenteraman, dan kekuatan gotong-royong.

 

 

Slametan cenderung dilaksanakan oleh pandangan dunia Jawa, terutama ketika situasi kehidupan mengalami titik-titik rawan

sehingga dengan slametan mengharapkan kekacauan yang tidak manusiawi oleh gangguan makhluk halus lekas hilang, menjadi tenang, dan tenteram.

 

 

Menurut pandangan dunia Jawa manusia hidup tak terpisahkan dari kekuatan adikodrati yang mengisyaratkan bahwa siapa pun yang ingin hidup bahagia,

selain tidak lupa kepada yang adikodrati, harus pula rukun, gotong royong, dan diaktualisasikan dengan mengadakan slametan dalam segala langkah pekerjaan.

Sementara itu, kekuatan kekuasaan terletak pada penguasa (raja), sebab raja dianggap mempunyai kekuatan kosmis.

 

 

Kesipulannya tujuan resmi terakhir usaha-usaha mistik Jawa adalah pencapaian kesatuan hamba dan Tuhan, melainkan juga pengalaman kesatuan Yang Ilahi mempunyai nilai yang pragmatis.

Geertz menyatakan bahwasannya rasa adalah tolok ukur pragmatis terhadap arti segala usaha mistik orang Jawa.

Selanjutnya, rasa membawa maksudnya dalam dirinya, rasa adalah keadaan yang puas tenang, ketenteraman batin (tentreming manah), dan ketiadaan ketegangan yang merupakan paham Jawa yang disebut dengan kebahagiaan.

 

 

Baca juga:

 

 

 

Waallahu A'alam Bisshowab

 

Sekian pembahasan Batemuritour kali ini, bagi kalian yang ingin bertanya ataupun berkomentar terkait konten-konten Islami silahkan hubungi email kami di umrah.batemuri@gmail.com atau terus cek artikel kami di www.batemuritour.com









Whatsapp Logo
Start a Conversation Hi! Click one of our member below to chat on Whatsapp