Batemuritour.com- Bagi masyarakat tradisional, pergantian waktu dan perubahan fase kehidupan adalah saat-saat genting yang perlu dicermati dan diwaspadai.
Untuk itu mereka mengadakan ‘upacara peralihan’ yang berupa slametan, makan bersama (kenduri), prosesi dengan benda- benda keramat, dan sebagainya.
Begitu pula sebelum Islam datang, di kalangan masyarakat Jawa sudah terdapat ritual-ritual keagamaan.
Hal ini diwujudkan dalain bentuk slametan yang berkait dengan siklus kehidupan, seperti kelahiran, kematian, membangun dan pindah rumah, menanam dan memanen padi,
serta penghormatan terhadap roh para leluhur dan roh halus.
Ketika Islam datang ritual-ritual ini tetap dilanjutkan, hanya isinya diubah dengan unsur-unsur dari ajaran-ajaran Islam. Maka terjadilah islamisasi Jawaisme (keyakinan dan budaya Jawa).
Yang dimaksud dengan menggabungkan Islam dengan budaya lokal dalam konteks ini adalah melaksanakan syariat Islam dengan kemasan budaya Jawa.
Seperti contoh, berbakti kepada orang tua adalah wajib. Dalam melaksanakan syariat ini masyarakat Jawa biasanya menggunakan media sungkem.
Begitu pula dalam rangka memperingati hari Idul Fitri, masyarakat menyiapkan hidangan kupat dan lontong. Secara keratabasa, 'kupat' dapat diartikan ngaku lepat atau mengaku salah. Keduanya merupakan simbolisasi dari perintah untuk meminta maaf kepada orang lain pada hari raya yang penuh kebahagiaan ini.
Meskipun sama-sama menggabungkan unsur-unsur ajaran dari dua atau lebih agama/aliran yang berbeda, contoh-contoh sinkretisasi di atas tidaklah sama tingkatannya.
Berkaitan dengan lingkaran hidup terdapat berbagai jenis upacara, antara lain:
1. Upacara tingkeban atau mitoni
sumber gambar: https://mitrapost.com
Dilakukan pada saat janin berusia tujuh bulan dalam perut ibu.
Dalam tradisi santri, pada upacara tingkeban ini seperti yang dilakukan di daerah Bagelen dibacakan nyanyian perjanjen dengan alat musik tamburin kecil.
Nyanyian ini dibawakan oleh empat orang dan di hadapan mereka duduk sekitar 12 orang yang turut menyanyi.
Nyanyian perjanjen ini sesungguhnya merupakan riwayat Nabi Muhammad yang bersumber dari kitab Barzanji.
2. Upacara kelahiran (brokohan)
sumber gambar : hipwee.com
Dilakukan pada saat anak diberi nama dan pemotongan rambut (bercukur), pada waktu bayi berumur tujuh hari atau sepasar. Karena itu slametan pada uapacara ini disebut juga slametan nyepasari.
Dalam tradisi Islam santri upacara ini disebut dengan korban aqiqah yang diucapkan dalam lidah Jawa kekah, ditandai dengan penyembelihan hewan aqiqah berupa kamping dua ekor bagi anak laki-laki dan satu ekor kambing bagi anak perempuan.
Baca juga:
3. Upacara sunatan
sumber gambar : gurusiana.id
Dilakukan pada saat anak laki-laki dikhitan. Namun pada usia mana anak itu dikhitan, pada berbagai masyarakat pelaksanaannya berbeda-beda.
Ada yang melaksanakannya antara usia empat sampai delapan tahun, dan pada masyarakat yang lain dilaksanakan tatkala anak berusia antara 12 sampai 14 tahun.
Pelaksanaan khitan ini sebagai bentuk perwujudan secara nyata tentang pelaksanaan hukum Islam. Sunatan atau khitanan ini merupakan pernyataan pengukuhan sebagai orang Islam.
Karena itu seringkali sunatan disebut selam, sehingga mengkhitankan dikatakan nyelamaken, yang mengandung makna mengislamkan (ngislamaken).
4. Upacara perkawinan
sumber gambar: idntimes.com
Dilakukan pada saat pasangan muda-mudi akan memasuki jenjang berumah tangga.
Upacara ini ditandai secara khas dengan pelaksanaan syari’at Islam yakni aqad nikah (ijab qabul) yang lakukan oleh pihak wali mempelai wanita dengan pihak mempelai pria dan disaksikan oleh dua orang saksi.
Slametan yang dilakukan berkaitan dengan upacara perkawinan ini sering dilaksanakan dalam beberapa tahap, yakni pada tahap sebelum aqad nikah, pada tahap aqad nikah dan tahap sesudah aqad nikah (ngundhuh manten, resepsi pengantin).
Antara upacara aqad nikah dengan resepsi, dari segi waktu pelaksanaaannya, dapat secara berurutan atau secara terpisah.
Jika terpisah, maka dimungkinkan dilakukan beberapa kali upacara slametan, seperti pada saat ngundhuh manten, pembukaan nduwe gawe ditandai dengan slametan nggelar klasa, dan pada saat mengakhirinya dilakukan slametan mbalik klasa.
5. Upacara kematian
sumber gambar: boombastis.com
Pada saat mempersiapkan penguburan orang mati yang ditandai dengan memandikan, mengkafani, menshalati, dan pada akhirnya menguburkan.
Setelah penguburan itu selama sepekan, tiap malam hari diadakan slametan mitung dina (tujuh hari), yaitu kirim doa dengan didahului bacaan tasybih, tahrnid, takbir, tahlil, dan Shalawat Nabi yang secara keseluruhan rangkaian bacaan itu disebut tahlilan.
Istilah tahlil itu sendiri berarti membaca dzikir dengan bacaan laa ilaaha illallaah.
Slametan yang sama dilakukan pada saat kematian itu sudah mencapai 40 hari (matang puluh), 100 hari (nyatus), satu tahun (mendhak sepisan), dua tahun (mendhak pindo), dan tiga tahun (nyewu).
Tahlilan kirim doa kepada leluhur terkadang dilakukan juga oleh keluarga secara bersama-sama pada saat- saat ziarah kubur, khususnya pada waktu menjelang bulan Ramadlan. Upacara ziarah kubur ini disebut upacara nyadran.
Dewasa ini bacaan tahlilan lebih meluas penggunaannya. Tahlil tidak saja dibaca sebagai upaya mendoakan ahli qubur, tetapi tahlil dibaca juga sebagai pelengkap dari doa slametan
sehingga kapan saja diadakan upacara slametan dimungkinkan juga untuk dibacakan tahlilan. Misalnya pada waktu mau pindah rumah, syukuran sembuh dari sakit, naik pangkat, mau berangkat dan pulang dari perjalanan jauh seperti naik haji dan lain sebagainya.
Bentuk upacara lain, selain berkaitan dengan lingkaran hidup, terdapat pula upacara yang berkenaan dengan kekeramatan bulan-bulan hijriyah seperti upacara Bakda Besar, Suran, Mbubar Suran, Saparan, Dina Wekasan Muludan, Jumadilawalan, Jumadilakhiran, Rejeban (Mikhradan), Ngruwah (Megengan), Maleman, Riyayan, Sawalan (Kupatan); Sela, dan Sedekahan Haji.
Sementara itu, masih terdapat jenis upacara tahunan, yaitu upacara yang dilaksanakan sekali setiap tahun. Termasuk dalam jenis upacara ini adalah upacara peringatan hari lahir Nabi Muhammad, tanggal 12 bulan Maulud, disebut muludan.
Baca juga:
Waallahu A'alam Bisshowab
Sekian pembahasan Batemuritour kali ini, bagi kalian yang ingin bertanya ataupun berkomentar terkait konten-konten Islami silahkan hubungi email kami di umrah.batemuri@gmail.com atau terus cek artikel kami di www.batemuritour.com