Batemuritour.com- Bangsa Arab Jahiliah, sebelum masa kerasulan Muhammad, masih memelihara tradisi Nabi Ibrahim meskipun tradisi mulia itu kemudian diselewengkan.
Sumber gambar : fatwapedia.com
Dengan maksud untuk menghindari bulan Muharram yang di dalamnya terlarang melakukan peperangan, masyarakat Jahiliah menghitung bulan dengan sistem penggeseran sehingga bulan Dzulhijjah akhirnya tergeser masuk ke dalam bulan-bulan Muharram, Safar, dan seterusnya.
Dengan begitu, pelaksanaan ibadah haji masyarakat Arab pra-Islam dipergilirkan pada bulan-bulan yang menurut perhitungan mereka terdapat bulan Dzulhijjah di dalamnya.
Suatu bulan tertentu, misalnya Muharram, yang dalam kalender mereka disebut Safar Awwal, menjadi waktu pelaksanaan ibadah haji, dan di bulan itu dilaksanakan haji dua kali berturut-turut.
Sesudah itu, kemudian berpindah ke bulan berikutnya, yakni Safar, atau yang biasa disebut Safar Tsânî. Begitulah seterusnya. Baru setelah 24 tahun, kegiatan ibadah haji dilaksanakan pada bulan semula, Muharram.
Baca juga:
2 Golongan Haji pada Masa Jahiliyah
Pada masa Jahiliah, jama'ah haji terbagi atas dua kelompok, pedagang dan nonpedagang. Jama'ah haji pedagang sudah harus bertolak meninggalkan negerinya pada saat bilal bulan sebelum datangnya bulan haji.
Sebagai contoh, mereka harus sudah meninggalkan negeri- nya pada permulaan bulan Dzulqa'dah jika haji itu terjadi pada bulan Dzulhijjah.
Hal itu dimaksudkan agar jama'ah haji bisa ikut berpartisipasi dalam pasar khusus di Ukáz selama 20 hari. Dari pasar Ukáz ini, jama'ah haji berangkat menuju Majnah untuk berdagang selama sepuluh hari.
Setelah tampak hilal Drulhijjah, pasar Majnah ditutup dan rombongan haji pedagang ini berangkat ke Dzul Majiz unik melakukan transaksi perdagangan selama delapan hari.
Pada hari tarwiyah, mereka bertolak ke Arafah untuk melakukan wukuf.
Berbeda halnya dengan jama'ah nonpedagang. Pada hari tarwiyah, jama'ah nonpedagang ini langsung menuju ke Arafah guna melaksanakan wukuf.
Sebagian di antara mereka melaksanakan wakuf di Arafah sementara sebagian yang lain melakukan wukuf di Namirah, perbatasan tanah haram.
Setelah bermalam di tempat masing-masing. menjelang terbenamnya matahari, mereka, bertolak ke Muzdalifah. Keesokan harinya, setelah matahari terbit, jama'ah haji nonpedagang ini bertolak ke Mina.
Thawaf Tanpa Busana
Dari Mina mereka kemudian pergi ke Makah guna melaksanakan tawaf. Beberapa suku menetapkan tradisi bagi anggota yang baru pertama kali melaksanakan haji.
Baca juga :
Ka’bah Bukan Tujuan, Tapi Pedoman Arah!
Bagi anggota baru, mereka diharuskan melakukan thawaf dalam keadaan tanpa busana, baik laki-laki maupun perempuan.
Mereka berargumentasi bahwa pakaian yang dikenakannya adalah kotor (tidak suci) sehingga tidak pantas digunakan untuk ibadah.
Sementara jama'ah yang dihormati oleh masyarakatnya tetap mengenakan pakaian ketika melaksanakan tawaf. Akan tetapi, setelah itu, pakaian tersebut tidak boleh digunakan lagi.
Dari rekonstruksi pelaksanaan haji pada masa Jahiliah terdapat unsur-unsur manâsik Nabi Ibrahim. Hal ini menandakan bahwa pada waktu itu suku-suku Arab masih mengikuti millah Ibrahim.
Meskipun ajaran Nabi Ibrahim yang murni itu disusupi oleh tradisi-tradisi heterodoks.
Baca juga:
Haji Sebelum Masuknya Islam, Bagaimana Haji yang Dilaksanakan Nabi Adam AS ?
Seruan Haji Pertama Kali oleh Nabi Ibrahim
Waallahu A'alam Bisshowab
Sekian pembahasan Batemuritour kali ini, bagi kalian yang ingin bertanya ataupun berkomentar terkait konten-konten Islami silahkan hubungi email kami di umrah.batemuri@gmail.com atau terus cek artikel kami di www.batemuritour.com