Bagaimana Cara Thaharah Perempuan yang Mengalami istihadhah Agar Bisa Melakukan Thawaf?

By. Siti Rahmawati - 05 Jul 2023

Bagikan:
img

Batemuritour.com- Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan, perempuan istihadhah diizinkan untuk melakukan thawaf. Sekalipun demikian, kondisi istihadhah bukan berarti sama dengan kondisi kebanyakan orang. Aliran darah istihadhah bisa keluar sewaktu-waktu di luar siklus menstruasi.

 

Itulah mengapa perempuan istihadhah dikategorikan sebagai orang yang berhadas kecil secara terus-menerus. Lantas bagaimana cara dia ber-thaharah (bersesuci dari hadas), mengingat thawaf merupakan ibadah yang mensyaratkan thaharah.

 

Darah istihadhah seseorang tentunya diawali darah menstruasi terlebih dahulu. Jika darah menstruasi ber henti maksimal selama 15 hari, perempuan yang istihadhah akan terus mengalami pendarahan. Titik inilah yang menjadi pembeda status hadasnya.

Ketika siklus haid selama 15 hari, statusnya adalah berhadas besar. Ketika siklus haidnya berakhir dan memasuki masa istihadhah pada hari ke-16, statusnya berubah menjadi hadas kecil.

 

Sekalipun kondisi perempuan istihadhah masuk kategori hadas kecil, sebelumnya dia telah berada pada kondisi hadas besar terlebih dahulu. Itulah mengapa mayoritas ulama menyebutkan, perempuan istihadhah hanya wajib mandi besar satu kali, yakni ketika masa haidnya berakhir.Dengan kata lain, mandi besarnya bukan lantaran istihadhah, namun untuk bersesuci dari hadas besar setelah haid.

 

 

Baca juga :

 

 

Ada juga ulama yang berpendapat lain. Perempuan haid diwajibkan untuk mandi besar setiap akan menunaikan shalat fardhu. Dalam konteks thawaf, berarti harus mandi besar sebelum menunaikan thawaf. Namun pendapat ini dianggap tidak kuat. Mengingat kaidah fiqhiyyah yang berlaku dalam masalah ini adalah al-ashl ‘adam alwujub illa ma warada al-syar’ bi ijabih (hukum asalnya adalah tidak ada hukum wajib, kecuali ada ketentuan syari’at yang mewajibkannya).

 

Bahkan riwayat hadis yang telah disebutkan pada pembahasan terdahulu hanya memerintahkan perempuan istihadhah untuk mandi sekali, yakni ketika dia mengakhiri siklus haid.

Selain argumentasi di atas, alasan yang memperkuat perempuan istihadhah hanya wajib mandi besar sekali adalah status perempuan istihadhah yang dianggap dalam kondisi thaharah (tidak sedang berhadas besar). Menurut para ulama, orang dengan status thaharah (tidak sedang berhadas besar) wajib menunaikan shalat. Sementara orang haid tidak boleh menunaikan shalat, karena sedang berhadas besar. Mengingat perempuan istihadhah dalam kondisi tidak berhadas besar, maka dia juga wajib menunaikan shalat. Oleh karena itu, dia tidak wajib mandi besar setiap akan shalat, karena statusnya tidak sedang haid maupun jinabah.

 

Kalau memang mandi yang dilakukan perempuan istihadhah hanya untuk menghilangkan hadas besarnya setelah haid, lantas bagaimana dia bersesuci dari hadas kecilnya. Menurut al-Nawawi, perempuan istihadhah cukup bersesuci dengan cara berwudhu. Sekalipun demikian, ada beberapa ketentuan yang perlu diperhatikan.

Hal ini lantaran kondisi perempuan istihadhah tidak seperti kebanyakan perempuan lain. Darah bisa keluar sewaktu-waktu, sehingga menyebabkan wudhunya batal. Hal ini juga bisa saja terjadi pada saat dia tengah melakukan thawaf.

 

Setidaknya terdapat tiga pendapat dalam madzhab Syafi’i terkait bagaimana seharusnya perempuan istihadhah berniat wudhu. Pertama, perempuan istihadhah hendaknya berniat li istibahah al-shalah (agar diperbolehkan mengerjakan shalat) ketika berwudhu. Dalam konteks thawaf berarti dia berniat li istibahah al-thawaf (agar diperbolehkan menunaikan thawaf). Jika hanya berniat li raf’ al-hadats (untuk menghilangkan hadas), maka haltersebut dianggap tidak mencukupi.

Kedua, cukup berniat li raf’ al-hadas. Ketiga, wajib menggabungkan kedua niat tersebut, yakni niat li istibahah al-thawaf dan li raf’ alhadas. Hanya saja pendapat pertama yang dianggap lebih shahih di kalangan ulama.

Baca juga :

 

 

Perbedaan cara niat wudhu perempuan istihadhah ternyata berkonsekuensi pada status hadas mereka setelah berwudhu. Para ulama juga tidak sepakat mengenai hal ini. Setidaknya juga terdapat tiga pendapat di kalangan mereka.

 

Pertama dan sekaligus dianggap pendapat yang paling shahih, hadas perempuan istihadhah sebenarnya tidak terangkat. Di samping karena hanya berniat li istibahah al-thawaf, darah istihadhahnya bisa keluar sewaktu-waktu. Hal itulah yang sebenarnya membatalkan wudhu dan membuatnya terus berhadas.

 

Kedua, hadasnya dianggap terangkat, baik hadas sebelum wudhu maupun hadas yang menyertainya. Ketiga, hadas yang terangkat hanya yang terjadi sebelum wudhu. Apabila menganut pendapat pertama, wudhu perempuan istihadhah pada hakikatnya tidak menghilangkan hadas kecil. Dia berwudhu hanya untuk diperbolehkan menunaikan thawaf (li istibahah al-thawaf).

 

Oleh karena itu, wudhu perempuan istihadhah dikategorikan sebagai bersesuci secara darurat (thaharah dharurah). Karena dianggap darurat, wudhu perempuan istihadhah juga hanya boleh dilaksakanan pada kondisi darurat. Untuk kasus shalat Maghrib misalnya, baru dianggap dalam kondisi darurat kalau sudah masuk waktu shalat Maghrib.

Dia hanya boleh berwudhu ketika sudah masuk waktu Maghrib dan harus langsung menunaikan shalat. Kalau berwudhu sebelum waktu Maghrib, maka dianggap belum dalam kondisi darurat, sehingga wudhunya tidak sah untuk shalat Maghrib.

Terkait masalah thawaf, wudhu perempuan istihadhah baru dianggap darurat jika dia sudah siap berangkat ke masjid untuk menunaikan thawaf. Sebelum berwudhu, hendaknya dia menyucikan najis darahnya terlebih dahulu dan setelah itu memakai pembalut. Jika setelah disucikan ternyata darah istihadhah masih mengalir, maka dia mendapatkan rukhshah dalam thawafnya dan ibadahnya tetap dianggap sah.

 

 

Seandainya dia masih berjalan-jalan untuk mencari makanan setelah berwudhu misalnya, maka wudhunya tidak bisa lagi digunakan untuk thawaf. Jika dia tetap thawaf dengan wudhu tersebut, maka thawafnya tidak sah, karena wudhunya sudah dianggap batal. Selama berjalanjalan, tidak menutup kemungkinan darah istihadhah-nya kembali keluar, dan itu membatalkan wudhunya.

Hal penting lain yang juga harus diketahui, menurut pendapat mayoritas ulama, thaharah dharurah hanya bisa digunakan untuk satu kali ibadah fardhu. Ketika dia berwudhu untuk thawaf ‘umrah, maka dia tidak bisa melakukan ibadah fardhu lain kecuali berwudhu lagi. Hal ini tidak lain karena thawaf umrah adalah rukun umrah, sehingga dianggap sebagai ibadah fardhu. Apabila dia akan menunaikan salah satu shalat lima waktu misalnya, dia harus kembali berwudhu ketika akan shalat fardhu yang lain. Hendaknya, dia kembali menyucikan najis darahnya terlebih dahulu, memakai pembalut, dan baru setelah itu berwudhu untuk shalat fardhu yang akan dia tunaikan. Cara ini juga yang harus dia lakukan ketika akan menunaikan thawaf.

 

Baca juga : 

 

 

Waallahu A'alam Bisshowab

 

Sekian pembahasan Batemuritour kali ini, bagi kalian yang ingin bertanya ataupun berkomentar terkait konten-konten Islami silahkan hubungi email kami di umrah.batemuri@gmail.com atau terus cek artikel kami di www.batemuritour.com

 

 









Whatsapp Logo
Start a Conversation Hi! Click one of our member below to chat on Whatsapp