Batemuritour.com- Dalam pandangan Islam, kemiskinan bukanlah faktor penentu nilai atau martabat seseorang. Umat Islam diajarkan untuk tidak menilai seseorang berdasarkan kekayaan materi, tetapi lebih kepada spiritualitas, ketakwaan, kesabaran, dan rida terhadap takdir Allah. Sayyid Abdullah bin Alawi al-Haddad, dalam kitabnya "Al-Fushul al-‘Ilmiyyah wal Ushul al-Hikamiyyah," membagi orang miskin menjadi dua kelompok: orang miskin terpuji dan tercela.
Baca juga: Makna dan Doa Malam Nisfu Sya'ban
Orang miskin terpuji adalah mereka yang mencari harta dunia hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka atau bahkan lebih, tetapi tidak berhasil karena rezeki yang ditentukan Allah untuk mereka memang di bawah kadar kebutuhan. Namun, mereka tetap menjalani hidup dengan penuh wara' (kehati-hatian dalam halal dan haram) serta takwa. Mereka bersabar dan ridha dengan apa yang Allah berikan, tidak menunjukkan kecemasan atau kemarahan. Mereka tetap menjalankan kewajiban agama mereka dengan kuat, bahkan dalam keterbatasan ekonomi.
Orang miskin terpuji ini memiliki sifat-sifat seperti wara', takwa, kesabaran, dan ridha. Mereka menjalani hidup mereka dengan penuh keyakinan bahwa apa pun yang Allah berikan adalah yang terbaik untuk mereka. Mereka tidak hanya fokus pada aspek materi, tetapi juga pada kualitas spiritual dan moral.
Orang miskin tercela adalah mereka yang meninggalkan takwa dan kehati-hatian dalam mencari harta dunia. Mereka mungkin tidak memperdulikan apakah rezeki yang mereka peroleh halal atau haram. Mereka mungkin melupakan kewajiban agama dan menjauhi larangan Allah. Ketika menghadapi kesulitan ekonomi, mereka tidak bersabar dan tidak ridha dengan takdir Allah. Sebaliknya, mereka cenderung merasa cemas, marah, dan iri terhadap orang lain yang lebih sukses secara materi.
Baca juga: Pakaian Apa Saja Sih yang Harus Dibawa saat Umrah
Orang miskin tercela ini seringkali melanggar norma-norma agama dan moral karena terjerumus dalam keinginan untuk segera memenuhi kebutuhan dunia mereka tanpa mempertimbangkan konsekuensi spiritual. Mereka mungkin mengeluh terus-menerus, mengutuk takdir, dan bahkan menunjukkan rasa iri terhadap keberhasilan orang lain.
Islam menekankan bahwa nilai seseorang tidak dapat diukur oleh kekayaan materi semata. Seseorang yang miskin secara materi tetapi kaya secara spiritual dan bertaqwa kepada Allah memiliki nilai yang tinggi di hadapan-Nya. Sebaliknya, kekayaan materi tanpa ketaqwaan dapat menjadi ujian dan fitnah bagi seseorang.
Sikap terpuji terhadap kemiskinan dalam Islam adalah sikap tawakal, bersyukur, dan sabar. Orang miskin terpuji diberikan penghargaan dan kedudukan yang tinggi di hadapan Allah karena menjalani hidup mereka dengan keteguhan iman dan kesabaran. Sebaliknya, orang miskin tercela ditegur karena sikap mereka yang meremehkan nilai-nilai spiritual dan moral dalam usahanya mencari keberhasilan dunia.
Baca juga: Pandangan Mazhab Syafi'i dan Hanafi tentang Membaca Surat Al-Fatihah bagi Makmum
Dengan demikian, pandangan Islam tentang kemiskinan tidak hanya terbatas pada kondisi materi, tetapi lebih pada aspek spiritual dan moral. Itulah sebabnya, orang miskin terpuji lebih bernilai di sisi Allah daripada orang miskin tercela, meskipun kondisi materi mereka serupa.